Selasa, 11 Mei 2010

Confession of the Grieve

(*)

..I've asked someone to leave. Instead of being relieved, I feel grieved..
----------------

(#)

Long

Sharp shadow

Come

From the dark

And the bass string

Of my guitar

Breaks
----------------
(*)

As Light faded slowly

Shadow swept my tears

The broke of the string left me in silence

Though words of Light whispering still
----------------
(#)

But like love

The words

Are blind!

Who used to look at herself

So long

In the fountain
----------------
(*)

But love - in longing for Light - wasn't blind, said she

For the Light itself shined so bright,
Too bright that it could only be seen by others but she
----------------
(#)

In the night you see

The window tremble with joy

While you slowly embroider

A difficult letters

To say

You love him
----------------
(*)

The Light, Sir...

Put this love of mine on the string

On the string till it breaks...

No I could never come to declare

The Light, Sir, it never belongs to me
________________
________________

Dearest Maids

Like it’s been said
The further you seek, the less should you laid
You searched for a maid
Helped you cope your sanity, yet more games be played
Yelled on things, spelled on affairs
Well maids ain’t machines, there’s a life she bears
Desired for riches
Hunted for treasures
Hopping up the distance
She’s there as an instance
Bet you took her to truth or dare
Did you think she’s just a fare
Salient, aren’t you, took her as a minor
Forgot, haven’t you, how she unrest in your prior
Her hair so lovely
Dark, black and shiny
Beautiful, you thought, while dragging her hair
The more she cried, the more you said she is fair
Amazed by her skin
You touched her from chin
What was next, you knew, then banged her to the wall
The fairy fainted, you smiled, watched her tears fall
She made you tea, bend on her knees
You said a ‘Gee’ as you rubbed her tees
Tried to peek through her door
There she lied on the floor
Nearly died she was,
But freedoms don’t come fast
Lack of ideas on stealing her beauty
You took the iron and swab her slowly
As if the cigars couldn’t do much
You took the fuel and burnt her like branch
No wonder like what’s been said
To hell it has this world turned plaid
We believe there’s more like you
Nasty and cruel just like you do
We believe there’s more like you
So sad, a pity, still lots in mute



.Dorothea Diba.

Sights by Us

"SRENGENGE TENGIL"
Eira Prameswari, 2010
Pencil Color on Paper





"SETAMAN LANGIT"
Eira Prameswari, 2010
Pencil Color on Orange Paper




"UNTITLED"
Eira Prameswari, 2010
Pencil Color on Black Paper




"SPICY CRESCENT"
Eira Prameswari, 2010
Pencil Color on Paper

Sights by Us

"LIFE"
KrisanPutih (Dorothea Diba), Maret 2010
Oil on Canvas





"LIFE - 2"
KrisanPutih (Dorothea Diba), Maret 2010
Oil, Acrylic & Pastel on Canvas





"NDARI"
KrisanPutih (Dorothea Diba), Maret 2010
Oil on Canvas

Selasa, 09 Maret 2010

BEJANA Merayakan Hari Perempuan Internasional dengan "Bunga Estafet" (8 Maret 2010)




Untuk merayakan Hari Perempuan Internasional yang ke-100, BEJANA memperingatinya melalui "Aksi Bunga Estafet". Bunga berwarna ungu dipilih sesuai dengan warna ungu yang disepakati sebagai warna perempuan internasional. Memang tidak terlalu banyak bunga yang BEJANA sebar waktu itu; hanya 12 batangdan disebar dengan cara 'estafet' (diteruskan oleh penerima bunga ke perempuan berikutnya yang Ia temui). Pada setiap batang yang dibagikan diberikan note mengenai peringatan Hari Perempuan dan pesan agar memberikan kepada Perempuan berikutnya yang ditemui, lalu mengucapkan, "Selamat Hari Perempuan". Hal ini dimaksudkan untuk saling mengingatkan momen Hari Perempuan itu sendiri karena tidak semua orang mengetahui bahwa hari Perempuan Internasional diperingati pada tanggal 8 Maret 2010 kemarin. Selain itu para Perempuan yang saling bertemu tersebut dapat saling menyapa dan saling membagi senyum. Sapaan dan ucapan selamat ini ternyata kami rasakan dapat memberikan semangat secara personal bagi sahabat-sahabat Perempuan yang BEJANA kenal maupun secara kebetulan bertemu di jalan.




BEJANA dan Sahabat-sahabat BEJANA mempersiapkan bunga estafet sebelum dibagikan
(Karina Sita Dewi, Riany Setyandriani, Dorothea Diba, Eira Prameswari) :




Bunga estafet dibagikan untuk sahabat-sahabat Perempuan di lingkungan FISIP - Universitas Atma Jaya Yogyakarta



BEJANA membagikan kepada Ibu Kristin , salah satu pegawai TU FISIP - UAJY, lalu diteruskan lagi ke sahabat-sahabat Perempuan yang lain



Ibu Ninik Sri Rejeki terkejut dan senang ketika BEJANA masuk ke ruangannya untuk memberikan bunga estafet. Kami saling memberikan selamat dan mendapat ciuman hangat dari beliau



BEJANA membagikan kepada Sahabat Perempuan yang ditemui di jalan




Seorang Ibu yang sedang membeli otak-otak (foto: memakai helem) senang mendapat bunga estafet dan akan memberikan bunga tersebut kepada anak Perempuannya



Sahabat-sahabat Perempuan yang sedang menunggu TRANS Jogja di shelter mendapatkan bunga estafet juga



Shelter TRANS Jogja dipilih karena memungkinkan persebaran bunga estafet dengan rute yang lebih luas



Semoga hal sederhana sebagai cara BEJANA memperingati Hari Perempuan Internasional dapat memberikan efek yang hangat dan melekat untuk mengingatkan kepada Sahabat-sahabat bahwa Perempuan memiliki harinya untuk diperingati dan dirayakan bersama.

Pertanyaan untuk kemudian kita pikirkan bersama adalah; apa sesungguhnya yang kita rayakan - sebagai perempuan?

Senin, 08 Maret 2010

Words of Thoughts: ANAK-ANAK DAN LAGU MEREKA

“Tuhan berikan Aku hidup satu kali lagi
Hanya untuk bersamanya
Ku mencintainya, sungguh mencintainya…”

Lagu The Virgin ini yang menjadi pilihan ABG (anak belum gede) di kampungku untuk dipentasin waktu acara tirakatan 17 Agustus tahun kemarin. Lagu yang lain juga ada. Tak Gendong-nya Mbah Surip dan lagu-lagu perjuangan lainnya. Agak geli mendengarnya karena tidak sesuai tema Hari Kemerdekaan dan juga tidak sepadan dengan umur mereka yang rata-rata masih SD dan baru masuk SMP.

Di hari biasa waktu mereka berkumpul sore sambil bermain, kadang mereka tiba-tiba menyanyikan lagu-lagu orang dewasa lainnya. Hapal betul, lagi. Aku aja sampai kalah (karena kebetulan juga memang tidak tertarik dengan lagu-lagu Indonesia jaman sekarang yang kebanyakan “menyek-menyek”). Ada juga cerita, anaknya temanku yang kelas 2 SD minta dicariin lirik lagu Top Fourty Indonesia sama Mamanya yang kebetulan juga hobi karaoke. Ya, waktu Aku kelas 1 SD (tahun 92 kalau ga salah) pernah juga sih ngumpet-ngumpet dengerin Surat Undangan-nya Poppy Mercury. Tapi tidak semungil tetangga kecilku berumur sekitar 3 tahun yang ikutan nyanyi lagu milik Lenka dari handphone Mamanya. Padahal belum jelas kalau bicara. Lucu sendiri ngeliatnya. Tapi dia senang waktu menyanyikannya.

Ya, semua orang suka menyanyi. Dari anak kecil sampai manula. Dari keponakanku masih janin, Mamanya sudah memperdengarkan musik walau lewat dinding perut besarnya. Waktu sudah lahir juga didengarkan musik, dinyanyikan waktu menjelang tidur. Musik memang bahasa yang universal untuk menyampaikan maksud dan meluapkan perasaan. Musik juga memiliki khasiatnya sendiri seperti lagu-lagu klasik yang bisa merangsang otak anak. Musik juga memiliki sugesti tersendiri bagi setiap personal dari segi lirik dan komposisi musiknya.

Tapi sudah banyak tahun belakangan ini anak-anak kok kehilangan lagu-lagunya, ya? Tidak seperti jaman Agnes Monica masih jadi presenter Tralala-Trilili, acaranya Maisy (yang aku lupa nama acaranya). Jaman itu masih ada Papa T. Bob yang produktif bikin lagu anak-anak. Ada Ibu Kasur juga. Joshua dan teman-teman sepantarannya masih dengan wajah lucu menyanyikan lagu-lagu yang jadi tren anak-anak seusia mereka. Coba bandingkan dengan anak-anak kecil jaman sekarang yang banyak menyanyikan lagu-lagu orang dewasa. Mereka sendiri belum tentu mengerti maksud dari lirik-lirik yang mereka nyanyikan. Jangan saja lirik-lirik lagu dewasa yang mereka konsumsi itu menjadikan mereka melompat pikirannya, katakanlah untuk urusan cinta-cintaan, sebelum matang logika berpikirnya tentang makna lirik tersebut.

Salah satu tetangga kecil kelas 1 SD Aku tanyai tentang pelajaran kesenian-menyanyi di sekolah. Ternyata tetangga kecilku ini memilih menyanyikan lagu orang dewasa rupanya. Salah satu keponakan temanku juga ternyata gemar menyanyikan lagu orang dewasa. Karena yang ditonton di televisi adalah tayangan “Dahsyat”, “Inbox” dan teman-temannya. Belum lagi acara dengan konsep dunia anak-anak (search namanya) mengundang band dewasa sebagai bintang tamu, juga acara lomba nyanyi anak-anak yang justru kebanyakan menyanyikan lagu orang dewasa untuk dilombakan. Kalau pun untuk mengukur kemampuan vokal teman-teman kecil kita itu, boleh jugalah. Tapi kan mereka juga perlu penghayatan lagu melalui ekspresi dan kostum. Cepat dewasa sekali kelihatannya.

Yang Aku pikirkan dari yang aku lihat adalah, bagaimanapun anak-anak ternyata butuh bernyanyi. Lihat saja, walaupun tidak ada lagu anak-anak yang baru pun mereka tetap bernyanyi meski akhirnya harus menyanyikan lagu-lagu orang dewasa seperti sekarang ini. Lagu-lagu anak pun sebenarnya masih ada dan terus diajarkan oleh orang tua dan guru-gurunya. Walaupun semua lagu itu memang sudah lawas dan hanya itu-itu saja yang dinyanyikan. Lihat Kebunku, Cicak-cicak di Dinding, Naik Kereta Api, Kasih Ibu, Desaku dan masih banyak lagi.Lagu-lagu anak tersebut mudah dicerna oleh anak-anak sendiri dari sisi lirik dan juga aransemen musiknya. Yang Aku pikirkan lagi, kemana perginya para pencipta lagu untuk anak-anak ini? Kalaupun ada seperti Ada Band dan Gita Gutawa yang menelurkan sebuah lagu dengan tema ayah yang cukup bagus itu, tapi tetap yang menyanyikan adalah orang dewasa. Kangen juga melihat teman-teman kecil itu memiliki figur favorit dari teman-teman sepantarannya.

Kalau sekarang ini, katakanlah ada produsen musik yang menciptakan pasar musik untuk segmen anak-anak, apakah bisa menggeser pola mereka yang sudah terbiasa dengan konsumsi musik dewasa? Bisakah mereka digeser kembali ke dunia musik yang sepadan dengan usia dan tingkat berpikirnya? Karena mereka sudah terlanjur terkontaminasi. Mungkin butuh ramuan baru untuk mengemas lagu untuk anak-anak yang berbeda dari jaman Tralala-Trilili itu supaya tetap digemari oleh anak-anak sekarang ini.

Sabtu, 06 Maret 2010

Words of Thoughts - KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Suatu waktu Saya membaca buku kecil berjudul "Cuplikan Sejarah Gerakan Perempuan & Catatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional"* - sampai saat ini Saya ingat betul bagaimana Saya berhenti sejenak setelah membaca salah satu halamannya; kemudian membacanya ulang lalu berhenti dan terdiam lagi untuk yang kedua kalinya. Di sini Saya kutip isi halaman tersebut.

Tabel 2. Tabulasi KTP** dari 2 koran lokal*** 2005-2007




Hal pertama yang mengejutkan Saya adalah angka. Sungguh - silahkan sebut Saya naif atau buta - tak pernah Saya bayangkan angka-angka sebesar ini sebagai jumlah perilaku kekerasan terhadap perempuan, padahal ini baru di satu daerah saja tanpa mengabaikan bahwa angka-angka tersebut juga hanya untuk rentang waktu tertentu. Hal kedua adalah kolom "Jenis Kasus"; kelima belas jenis kasus yang tertera disitu membuka mata Saya akan apa yang (mungkin, sedang atau telah) terjadi di sekitar Saya - dan kita semua.

Ada beberapa pertanyaan dalam benak saat Saya mencermati tabel tersebut:
1. Apa batasan untuk kata 'Pencabulan'? Apakah siulan atau ujaran berupa "Hai Cewek...", atau "Satu, Dua, Satu, Dua" (yang sering diucapkan dengan nada iseng mengikuti gerakan tubuh satu perempuan yang sedang berjalan) termasuk di dalamnya? Apa tepatnya yang dimaksud dengan kata 'Pencabulan' ini - apa-apa yang termasuk di dalamnya?
2. Untuk 'KDRT'**** - apakah pembentakan dan pemaksaan hubungan seksual termasuk di dalamnya?
3. Lalu bagaimana dengan 'Bunuh Diri' (juga untuk jenis Percobaan Bunuh Diri)? Apakah alasan atau sebab tindak bunuh diri yang dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan (karena jelas-jelas si perempuan-lah yang mengakhiri nyawanya sendiri)?. Misalnya, ketika seseorang (perempuan) memutuskan untuk menghabisinya nyawanya karena tidak tahan akan perlakuan pasangan? Jika kemudian hal-hal seperti ini terungkap saat penyidikan (oleh pihak Kepolisian) - apakah orang yang menyebabkan perempuan tersebut tertekan hingga (mencoba) bunuh diri akan tetap diadili?
4. Untuk jenis 'Pelecehan Seksual' - apakah ini memang dikategorikan secara terpisah atau mencakup pelecehan seksual yang juga terjadi dalam rumah tangga?
5. Apa sebenarnya maksud dari jenis 'Tidak Senang' dan apa-apa saja yang menjadi contoh kasus 'Lain-lain'?


Pertanyaan-pertanyaan ini membawa Saya pada; apa yang dapat Saya lakukan? Banyak. Banyak sekali, sesungguhnya - tetapi Saya memilih untuk mencoba mengerti terlebih dahulu. Mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sekitar Saya - mulai dari diri Saya sendiri sebagai perempuan. Apakah Saya sendiri (sadar atau tidak) pernah melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan (terutama yang bersifat kekerasan psikis)? Lalu beranjak pada orang-orang yang dekat dengan Saya secara pribadi - apakah pernah mengalaminya? Apa yang bisa Saya lakukan untuk membantu memperbaiki keadaan - bila diperlukan? Apakah Saya perlu menyuarakannya? Pada siapa? Pada masyarakat luas? Untuk apa? Apakah untuk sesuatu yang sering diucapkan sebagai 'peningkatan kesadaran'? Kesadaran akan apa tepatnya?

Bagi Saya sendiri, terlalu banyak pertanyaan yang ada dalam benak Saya - lebih karena ketidakmengertian. Saya bisa saja - sebagaimana yang mungkin banyak orang lain lakukan - membaca atau mengikuti berita-berita yang berkaitan dengan masalah ini - dan membicarakannya. Apakah hanya akan berhenti di pembicaraan saja - sebagaimana yang terjadi pada pertanyaan-pertanyaan Saya selama ini? Saya bisa saja berangan-angan untuk turun ke lapangan - ikut serta dalam program-program lembaga tertentu sebagai volunteer atau bermimpi mengumpulkan teman-teman, mengadakan satu event dengan mengangkat issue ini atau menyampaikannya dalam bentuk karya (sebagaimana yang mungkin dilakukan oleh orang lain; berupa film, foto, dsb). Tetapi terlalu besar impian itu bagi Saya, terlalu jauh. Keprihatinan Saya - sebagaimana diri Saya sendiri - masihlah berupa bayi atau bahkan janin dalam hal ini.

Kembali pada tabel yang Saya kutip di atas, Saya bertanya-tanya lagi; itu yang terjadi di salah satu provinsi dari sekian banyak provinsi di negara ini - bagaimana dengan daerah lain? Dan kalaulah tabel tadi - lepas dari isi buku yang Saya baca tersebut secara keseluruhan - bisa dikatakan merupakan potret, bagaimana penyelesaian masalah ini? Apa yang dapat mengurangi angka-angka tersebut (tanpa berani bermimpi bahwa angka-angka itu dapat berubah menjadi 'nol' pada suatu ketika)? Undang-Undangkah? Berikut Saya kutip masih dari buku yang sama.

"... ... ... banyaknya kasus yang tidak dibuka ke publik, ataupun dibawa ke hukum. Sebagian kasus diselesaikan menurut hukum adat yang cenderung mengabaikan korban serta keterlibatan perempuan, bahkan mengabaikan substansi kasus-kasus tersebut."

Dibawah ini Saya kutip mengenai 'hukum' dari Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm:2002);

"Diane Polan menyatakan bahwa struktur hukum secara keseluruhan - organisasi hirarkisnya, format sebaliknya, dan bias yang mendasarinya demi rasionalitas, pada dasarnya adalah patriarkhis (Polan 1982)."

Disahkannya Undang-Undang yang merupakan salah satu usaha perlindungan perempuan; berhasilkah? Berkurangkah tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia ini? Seberapa besar pengaruh Undang-Undang tersebut atas kekerasan terhadap perempuan? Apakah Undang-Undang itu berjalan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya?

Lalu bagaimana dengan adat-istiadat? Banyak dari kita yang masih berpegang kuat dengan norma adat - misalnya, malu atau takut membuka pada keluarga besar tentang kekerasan yang dialami dalam keluarga inti - atau bahkan berani membicarakannya pada Saudara atau keluarga diluar keluarga inti namun tidak ada yang bisa dilakukan; sebut saja karena hal-hal demikian disebut 'aib'.

Apa yang dapat kita lakukan dari diri kita sendiri? Hal kecil apa yang dapat mulai kita perhatikan atau perjuangkan bila Kekerasan Terhadap Perempuan terjadi di sekitar kita?


* Buku pertama dari empat seri Buku Kecil yang dikeluarkan oleh PESADA (Perkumpulan Sada Ahmo - salah satu LSM yang bergerak di bidang perempuan di Sumatera Utara) sebagai pegangan internal lembaga tersebut - Tabel diambil dari hal.44
** Kekerasan Terhadap Perempuan
*** Koran lokal provinsi Sumatera Utara - tidak disebutkan harian apa tepatnya
****Kekerasan Dalam Rumah Tangga





*Picture drawn by: KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
"Violence Against Women"
Pencil & pastel on Paper





(cover buku "Cuplikan Sejarah Gerakan Perempuan & Catatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional")

Tentang Adin dan Mia

Adin terbangun. Kaget. Meraih handphone hitamnya, melotot menatap angka 07.30, dan meloncat tergesa-gesa. Membuka pintu kamar dengan kasar, setengah berlari menuju kamar mandi, kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Berdiri tegak di tengah ruangan, ia memandang langit-langit, berusaha mengingat pukul berapa tepatnya ia memiliki janji untuk bertemu pagi ini.

"Hei. Lho. Belum bangun?", Adin memutuskan menelepon Mia, sahabatnya.
"Mmm? Ini jam berapa..?"
"Setengah delapan. Lebih. Kita ketemuan jam berapa ya Mi? Aku lupa..."
"Astaga Din... Jam sebelas..."
"Oh?", Adin tertawa kecil, "Maaf Mi, maaf, aku kecepatan bangunnya. Ya udah tidur lagi sana, sampai ketemu nanti ya..."
"Mmm. Adiiin... pasti mikirnya harus ke kantor deh makanya bangun jam segini. Ya udah ya, sampai nanti... Di kantin kampus Din, jangan sampai lupa ya..."
"Haha.. Oke. See you soon."
"Mmm. Bye..."

Adin beranjak ke arah jendela, membuka tirai hijau besar yang menutupi pemandangan ke arah balkon kecil di luar kamarnya. Sinar matahari mulai menerangi seluruh ruangan saat Adin mengira-ngira apa yang membuat Mia mengajaknya bertemu hari ini. Hari Sabtu memang hari beristirahat, saatnya bangun siang karena kantor tidak mengharuskannya bekerja. Tetapi datang ke kampus tempat ia pernah kuliah sebelum menghentikannya dan berjanji untuk makan siang di kantin? Satu hal yang dalam enam bulan terakhir tidak pernah ia lakukan lagi. Ia masih menduga-duga hingga setengah jam setelahnya, duduk di kursi sudut ruangan dengan secangkir kopi panas. Ada apa? Mia ribut lagi dengan pacarnya? Atau ia sedang ada masalah dengan Ibunya? Atau...

"Hai...", sapa Mia sambil merentangkan kedua tangan, berjalan menuju tempat Adin duduk dengan segelas besar kopi hitam pekat. Mereka berpelukan dan sesaat setelahnya Mia sudah duduk manis di hadapannya. "Udah lama Din?".
Adin menatap jam hitam mungil di pergelangan tangan kanannya. "Setengah jam, nggak lama kok," jawabnya sambil tersenyum. "Tadi bimbingan? Gimana? Udah bisa maju ke penelitian?"
Mia mengangguk dengan senyum cerah. "Udah, lumayan cepat kalau dosen pembimbingnya yang ini. Mas!", serunya tiba-tiba sambil melambaikan tangan, "Es teh manis satu ya." Ia menatap Adin sejenak, menunduk, lalu mengangkat wajahnya kembali. "Ini rokok kenceng amat Din."
Adin menggeleng pelan. "Mi... Ada apa?", tanyanya tanpa lebih banyak basa-basi.
Pesanan Mia datang. Ia mengaduk es tehnya perlahan dengan sedotan plastik.
"Mi...", panggil Adin, menatap wajah Mia lekat-lekat.
Mia tersenyum. "Nggak ada apa-apa Din... Kangen aja...".
Kedua alis Adin terangkat. "Mi, ayo dong... Ni ngajak ketemuan tiba-tiba begini ada apa? Kok tumben banget?"
"Lho biasanya kan kita memang sering tiba-tiba janjian ketemu. Kenapa sih Din curiga amat? Kangen doang...".
Adin menghela nafas panjang. "Oke.", sahutnya, "So how is life going?"

Mereka berdua berbincang seakan tidak bertemu dalam hitungan tahun. Lama sekali, masing-masing menghabiskan dua gelas besar minuman dan berbatang-batang rokok. Perbincangan panjang yang hampir terkesan kering dan dingin.
"Senin ngantor Din?", tanya Mia sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas hitam besarnya.
"Iya dong...", Adin mematikan rokoknya, "Kenapa?"
"Enggak, nanya aja," jawab Mia, melirik tidak suka pada asbak berisikan beberapa puntung rokok. "Itu dikurangin dong Din, ga sehat. Ga bagus. Udah mulai sering batuk-batuk kan?"
Adin tersenyum sekilas. "Nafasnya mulai bunyi kalau malam."
Mia melotot.
"Udah deh Mi... Nggak apa-apa kok. Jadi..? Kapan kita ketemu lagi?"
"Aku masih kangen Din..."
Adin menggenggam tangan Mia. "Iya, aku juga. Tapi ya mau gimana, hidupnya udah beda-beda gini. Kamu sibuk skripsi, aku udah punya jam kantor sekarang. Susah ngepasin jam buat ketemu. Paling Sabtu atau Minggu. Atau besok mau ketemu?"
Mia diam.
"Ya udah, besok kabarin aja kalau mau ketemu ya. Aku kosong kok sampai sore."
"Malamnya?"
"Harus cepat tidur, Mi... Daripada telat bangun paginya...".

Setelahnya, Mia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, memijat keningnya perlahan. Kenapa ya aku nggak bisa ngomong ke Adin? Aku pengen Adin tau... Aku pengen ditemenin Adin. Tapi rasanya udah jauh, rasanya udah nggak kayak dulu lagi sama Adin. Adin pasti sibuk, apa dia peduli kalau aku cerita? Di tempat berbeda, Adin memutar komposisi klasik karya Chopin, kesulitan menenangkan pikirannya dari Mia. Pasti ada sesuatu. Pasti Mia sebenarnya pengen cerita. Tapi kenapa dia nggak ngomong? Apa dia sebenarnya nggak pengen aku tau? Nggak pengen bagi ke aku? Terus kenapa dia minta ketemu? Kok rasanya beda ya? Mia dan aku udah nggak seperti dulu lagi...

Mia terbangun tepat pukul lima sore setelah sebelumnya tertidur masih dengan baju yang ia kenakan ke kampus pagi harinya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan duduk pelan-pelan. Tatapannya lurus ke arah satu lukisan minyak di atas kanvas. Perempuan dengan bunga besar di sisi kanannya. Menoleh ke sisi kiri kamarnya, lukisan kecil bergambarkan bayangan kucing menatap jendela tergantung rapi di dinding. Keduanya oleh Adin. Pelan air matanya jatuh. Ia menyekanya. Aku harus cerita.

Lagi apa Din? Begitu pesan singkat yang Adin terima lewat handphone kesayangannya. Segera ia menghentikan ketikan yang merupakan tugas kantor yang ia bawa pulang. Menatap ke jendela dan melihat wajah Mia disana. Sesuatu mendera hatinya. Rasa yang selalu datang saat Mia sedang tidak dalam keadaan baik. Lagi ngetik, jawabnya. Ia bingung harus berkata apa lagi. Ingin bertanya, tapi ia takut jawaban Mia tidak akan menjelaskan apapun. Hanya berupa tidak apa-apa, nanya aja atau oh ya udah, take care. Adin melanjutkan ketikannya. Berjarak beberapa puluh meter dari tempat Adin duduk, Mia meletakkan handphone ke atas meja. Kecewa. Adin bahkan tidak bertanya.

Jarum jam menunjuk angka tujuh saat Adin menyelesaikan ketikannya. Ia meraih handuk, beranjak untuk mandi setelah menyadari tubuhnya lengket oleh keringat. Saat ia kembali ke dalam kamarnya dengan rambut basah dan berlilitkan handuk, pandangannya tertuju pada satu foto berbingkai kayu coklat tua. Ia dan Mia. Pelan ia mengenakan celana pendek hitam dan kemeja longgar putih milik Ibunya sambil memandangi foto itu. Lama sekali rasanya setelah saat itu, lama sekali tidak berbagi waktu bersama - berbagi tawa dan tangis. Ia jongkok sambil mengacak-acak rambut basahnya dengan handuk, masih memandangi foto yang sama. Ia harus bertemu Mia. Segera ia mengetik pesan singkat untuk dikirim pada Mia. Mi, ada acara? Jalan yuk?

Pukul delapan malam saat Mia tiba di teras kost Adin. Adin sudah siap dengan ransel hitamnya, menunggu Mia sambil berdiri bersandar pada tembok pagar.
"Kok nggak sekalian kujemput aja sih Mi?"
"Deket ini. Aku jalan aja. Ayo mau kemana?"
"Udah makan?"
Mia menggeleng.
"Yuk, kita lihat sambil jalan."
Dalam mini cooper tua berwarna hitam, kedua sahabat itu duduk berdampingan tanpa bicara. Hanya The Beatles yang bersuara menemani sepinya mereka berdua saat seluruh jalan hiruk pikuk menandakan malam minggu. Mia duduk diam memandang keluar jendela. Adin mengendarai tanpa pernah melepas rokoknya. Beberapa kali Mia menoleh, hanya untuk memandangi dengan raut wajah yang sulit ditebak. Adin tau Mia memandanginya untuk beberapa saat, mengerti betul bahwa sahabatnya itu sedang berjalan-jalan dengan pikirannya sendiri. Namun baik Mia maupun Adin tidak memulai satu patah kata pun. Mereka berdua seperti orang asing terhadap satu sama lain.

Setelah berputar-putar hampir selama satu jam, mereka berhenti di satu tempat makan berbentuk pendopo dengan konsep angkringan khas Yogyakarta. Keduanya memesan minuman hangat seperti teh dengan berbagai rempah di dalamnya dan masing-masing melahap dua porsi nasi kucing dengan berbagai gorengan hangat. Tempat itu tidak penuh walau sebagian besar tempat duduk terisi. Besarnya ruangan dan tingginya langit-langit menyelamatkan suasana dari kesan ramai dan bising. Cenderung tenang, walau sesekali terdengar tawa dari sana-sini. Mia membersihkan sudut-sudut bibirnya dengan tissue. Adin melipat kedua tangannya. Untuk beberapa detik keduanya saling menatap dan kemudian tertawa. "Aneh rasanya.", ujar Adin memulai perbincangan. Mia tersenyum. "Aku... Rasanya aku nggak kenal kamu lagi Mi." Wajah Adin datar saat mengucapkannya. Ia bahkan tidak melihat ke arah Mia. Hanya menyulut rokoknya perlahan, lalu terbatuk sebentar. Pelan Mia mengambil batang rokok yang terselip di antara kedua jari tangan kanan Adin. "Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?", tanya Mia. Adin memandangi Mia yang mematahkan batang rokok itu menjadi dua bagian dan membuangnya ke dalam asbak berbahan batok kelapa. "Pengen aja. Itu rokokku kenapa digituin?". Mia mengangkat wajahnya. "Pengen aja", jawabnya. Tiba-tiba Adin berdiri dan menatapnya tajam. "Ayo Mi." Kedua mata Mia memancarkan keheranan yang jelas. "Mau kemana Din?". Adin melangkah tanpa menjawab. "Kita pulang sekarang?", tergesa-gesa Mia mengejar langkah Adin.

Seperti sebelumnya, Adin menyetir tanpa bicara. Ia mendiamkan Mia yang entah sudah berapa lama memandanginya. "Din...", panggil Mia lembut. Adin mengacuhkannya. "Adin...", ulang Mia. Adin masih tetap diam. "Adin marah..?", tanya Mia hati-hati. Wajah Adin terlihat mengeras. Garis rahang dan tulang pipinya terkesan kuat walau cahaya samar. "Adin!!", Mia mulai tak tahan. "Adin jawab! Kenapa kamu diam dari tadi? Aku salah apa? Karena rokokmu tadi? Adin jawab Din!", Mia mencondongkan tubuhnya ke arah Adin. "Nanti Mi. Ini aku lagi nyetir." Mia meremas tepi bajunya, "Aku tau! Tapi apa kamu nggak bisa jawab sedikitpun? Adin!!". Adin bersikap tidak peduli, seakan tidak mendengarkan sama sekali. "Adin kamu kenapa sih...", Mia mulai terisak.

Mia masih menunduk sesenggukan saat Adin menghentikan lajunya. Rasanya seperti seabad walau perjalanan hening itu hanya memakan waktu tak kurang dari satu jam. "Ayo turun Mi...", ujarnya lembut, "Ayo...". Mia menoleh keluar jendela. Astaga, pikirnya. Tempat ini. Sudah lama sekali... Adin sudah melangkah beberapa meter di depannya saat ia turun dan menepuk-nepuk celananya sedikit kikuk. Ia mengikuti Adin merunduk melewati palang tanda tertutupnya tempat itu dan menaiki jalan setapak hingga titik tertinggi. Merapi dan Merbabu terlihat megah namun samar, seakan dekat tapi jelas berjarak jauh dari gardu pandang itu. Ribuan bintang terhampar di langit, seakan memantul dari bawah saat meliha ratusan titik cahaya dari lampu rumah-rumah kecil di kejauhan. Mia berdiri di samping Adin dengan sisa air matanya. "Waktu itu kita lagi sinting berdua. Pengen pergi jauh dan kamu baru punya motor. Motor yang kamu sebut Si Tampan.", kata-kata itu mengalir dari bibir Adin sambil menatap jauh menembus kedua gunung berwarna hitam dalam biru malam kelam. "Padahal udah dekat UAS, dan itu semester-semester awal kita ngambil mata kuliah berbeda karena konsentrasi studi yang berbeda. Kita mulai jarang ketemu waktu itu dan punya lingkaran kecil teman yang berbeda. Tapi kita selalu punya cara untuk ketemu. Dan tiap ketemu pasti punya lebih dari cukup cerita untuk ngisi waktu berjam-jam. Kamu selalu ada, aku pun begitu."

Mia menoleh dan mencermati wajah sahabatnya. "Kita naik motor kesini malam-malam. Dingin banget, tapi kita berdua ketawa-ketawa sepanjang jalan. Begitu nyampai sini, kita berdua sama-sama diam. Nggak ngobrol sama sekali. Tapi rasanya tenang aja, damai. Paling nggak menurutku begitu.", sambungnya pelan. "Menurutku juga begitu," sahut Adin, "Kita bisa pergi bareng ke satu tempat tanpa bicara banyak, tapi senang aja karena kita berdua bersama." Mia mengusap pipinya, "Karena itu yang terpenting." Adin menoleh ke arah Mia. "Apa yang salah..?", tanyanya dengan suara yang hampir terdengar seperti berbisik, "Sekarang pun kita udah jarang ketemu. Kamu masih berjuang buat ngelarin kuliahmu, aku kerja sejak nggak mau ngelanjutin kuliah lagi. Tapi rasanya kita udah kehilangan saat-saat itu...". Mia mendesah pelan dan duduk berjongkok. "Kamu tau? Sering aku tiba-tiba ingat, tentang kebiasaanmu yang nggak suka mandi...", katanya pada Adin. "Kamu nggak pernah mau makan lele, katamu kayak buaya.", sambung Adin.

"Kalau disuapin, kamu pasti gigit pinggiran sendoknya.", Mia berucap dengan mata menerawang.
"Kamu gigit-gigit sedotan sampai gepeng.", sahut Adin.
"Baca buku sampai ketiduran dan bukunya pasti ditelungkupin nutupin mulut."
"Kamu melintir-melintir ujung bantalmu yang udah kamu punya sejak umur tiga tahun."
"Suka jalan kaki jauh-jauh sambil hujan-hujanan. Sok romantis tapi ujung-ujungnya pilek."
"Seneng anggrek tapi selalu susah ngerawat versi hidupnya.", kali ini Adin duduk bersila di samping Mia.
"Aku kangen...", mata Mia kembali basah.
"Aku juga...", Adin mulai menangis.
"Kadang-kadang aku pikir, karena kita mulai dewasa dengan prioritas hidup yang beda, jangan-jangan itu berarti kehilangan orang-orang tertentu yang kita sayangi juga sebagai salah satu konsekuensinya."
"Karena kamu pikir mereka juga pastilah mengalami fase yang sama? Dan kamu lah pihak yang mengalah dan harus melepas? Iya, Mi?"
Mia mengangguk pelan. "Mungkin. Aku sendiri bahkan nggak yakin sama pikiranku. Sama dugaanku."
Adin tertawa kecil. "Justru aku yang ngerasa mulai kehilangan kamu. Ngerasa mulai nggak ngerti dan nggak kenal kamu, padahal bisa aja pikiran-pikiranku sendiri yang akhirnya membatasiku untuk tetap mengenal kamu sebagai Mia yang selama ini aku kenal."

"Ini yang pengen aku bicarain tadi di kantin.", ujar Mia, "Tapi aku nggak tau gimana mulainya. Kali aku juga takut dikira melankolis dan berlebihan...".
"...padahal aku udah lama pengen ngomongin hal yang sama. Kirain tadi kamu mau cerita apa gitu yang lain.", potong Adin.
"Padahal ini ya Din? Hehe...".
"Ya, padahal hal penting satu ini...".
Mia menatap Adin dalam-dalam. "Aku lega...".
Adin mengusap bahu Mia, "Aku juga. Ternyata perubahan fase hidup nggak selalu berarti akan kehilangan orang-orang yang kita kasihi."
"Terutama sahabat...".
"Because best friends stay forever. They stay by hearts."
"Iya Din, they don't last. We won't last."
Dalam dinginnya malam di gardu pandang Gunung Merapi dan Merbabu, kedua perempuan itu berpelukan erat, menemukan kembali diri mereka yang sempat hilang beberapa waktu. They both know, whatever happens, they won't last. Never.







*Details on the picture;
"UNTITLED"
drawn by KrisanPutih (Dorothea Diba), 2008
Oil & pastel on Paper

Senin, 01 Maret 2010

Bunga Matahari

“Sekar, itu Mama beliin makan malam ayam bakar di meja, ya…”.

“Aku gak makan ya, Ma. Mau tidur aja. Rasanya kayak masuk angin, ni…”.

“Kamu akhir-akhir ini pulang malem terus, deh. Pasti nyampe rumah hampir jam sembilan gini. Oh iya, besok ngambil rapor jam sepuluh, ya?”

Tidak ada jawaban dari Sekar. Hanya suara tivi dan suara Sekar yang muntah dari kamar mandi disusul suara pintu kamar mandi yang dibuka Mama. Sekar berhenti muntah, lalu melihat kaget Mama dari cermin wastafel.

“Kalau masuk angin, makan dulu sana, baru tidur. Atau kalau lagi gak selera makan, minum teh serai Mama di meja. Masih hangat”.

Mama lalu lari menghampiri telpon yang sudah berdering tiga kali. Dari Tante Nita, teman akrab Mama. Satu tarikan napas panjang dari Sekar. Lega rasanya. Bukan hanya karena sudah muntah, tapi karena tadi Mamanya tidak tanya ini – itu, tidak sempat lihat ada darah yang Sekar muntahkan. Ya, jelas saja muntah darah. Hampir seminggu penuh minum-minum terus. Padahal tidak ada yang sedang dirayakan. Hanya pada waktu itu merayakan datangnya hari Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis. Dan barusan ini merayakan hari Jum’at.

Mama masih asyik ngobrol di telpon sambil cekikikan. Sepertinya sedang merencanakan sesuatu yang asyik. Sekar minum seteguk teh serai Mama lalu lekas-lekas masuk kamar, putar radio, tarik selimut, lalu coba pejamkan mata merahnya itu. Tapi masih susah tidur, memikirkan terus pengalaman pertama muntah darahnya. Maklum, baru jadi peminum pemula yang sedang rajin berlatih. Bergidik juga jadinya Sekar. Jadi bertanya terus dalam hati, kenapa bisa begitu, ya ? Pikirannya pun terus melayang sambil matanya mengatup perlahan.

Hampir jam 3 pagi. Suara Tante Nita di luar buat Sekar terbangun.

“Gila ! Dah lama banget gak gila-gilaan gini! Kamu merhatiin tingkah cowok yang baju ijo tadi? Pasti dia gak nyangka banget kalo anak kita lagi pada tidur nyenyak di rumah”.

Tidak ada jawaban dari Mama. Hanya suara keran wastafel yang dibuka, mengguyur muntahan Mama, tidak jauh beda seperti Sekar tadi. Mama nyanyi-nyanyi gak jelas. Sekar hanya menguping sambil masih ngantuk. Ternyata Mamanya habis pulang dugem, minum sampai mabuk.


* * *

Sabtu siang rumah sepi. Hanya ada Mama yang merokok diam-diam di kamar mandi. Masih terus memandangi rapor Sekar yang banyak merahnya. Mama berpikir, jangan-jangan tinta hitam gurunya Sekar habis, jadi pakai tinta merah dulu? Atau jangan-jangan memang sekarang memang memakai tinta merah untuk mengisi nilai rapor? Mama sudah kehabisan imajinasi untuk mengelabui perasaannya sendiri. Mama ganti baju, lalu mengeluarkan VW Convertiblenya. Ingin ke pantai rasanya. Sendirian mungkin asik juga. Baru beberapa meter dari rumah, VW direm. Mama panggil Sekar yang sedang merokok sendiri di warung burjo. Kontan Sekar kaget dan membuang rokoknya. Sekar disuruh naik ke mobil. Saking gugupnya, Sekar naik sampai lupa bayar. Sepanjang perjalanan mereka banyak diam. Hanya Jammie Cullum yang All at Sea diputar, mengatakan sedikit isi hati Mama.

Sekar memulai pembicaraan dengan kaku dan gugupnya masih belum juga surut. “Aku emang tadi ngerokok, Ma. Tapi cuman sebatang, kok. Nilaiku juga banyak merahnya. Aku tau aku kebanyakan main. Mama berhak nge…..”, kalimat Sekar karena tiba-tiba juga Mama banting setir ke kiri sambil ngerem mendadak.

“Gak, papa kok. Sekarang kita buang sumpek ajah ke pantai”, Mama mengeluarkan rokoknya lalu disulut.

“Ambil aja. Rokokmu juga sama, kan?”

Sekar masih tegang, gugup, ditambah kaget dan bingung mau bilang apalagi. Mama memandang Sekar, memberi isyarat untuk mengambil rokoknya. Sekar ambil satu batang. Tidak disulut. Hanya diputar-putar di jarinya sampai tiba di pantai.

Mereka hanya banyak diam. Berjalan perlahan menuju batu karang yang besar sambil melelehkan kepenatan, kesumpekan, lalu di bawa ombak yang datang dan dibuang jauh ke tengah lautan sana. Batu karang besar itu favorit Papa dan Mama. Mereka duduk memandangi laut. Merokok. Tidak ada lagi yang sembunyi-sembunyi.

“Mama ngerti perasaan kamu. Kenapa nilai rapor banyak merahnya. Kenapa kamu sering pulang malam. Kenapa kemarin kamu sampai muntah-muntah begitu”.

Sekar hanya bisa diam. Padahal dia juga ingin sekali tanya, kenapa semalam Mama minum sampai mabuk begitu. Tapi Sekar hanya tetap diam. Merokok lagi bersama Mama dan suara ombak. Mereka berbicara tanpa saling menatap

“Sore ini kita ngobrol sebagai teman saja, ya. Mama juga pengen berbagi sama kamu. Sebenarnya kita sama-sama merasa kesepian. Walaupun Mama punya kamu. Kamu punya Mama. Tapi tetap saja, kita sama-sama kangen kehangatan Papa”, Mama berhenti sejenak, menyalakan rokoknya lagi.

“Tapi kita juga emang harus nyoba ngertiin. Selain kita, Papa juga punya Tante Mirta, Tante Lina, Danu, Satrio, Mega, yang masih bayi. Memang kita sekarang lagi dalam keadaan yang kurang menyenangkan, ga kita harapkan. Tapi kita harus berjuang dalam keadaan ini , bertahan untuk terus maju. Bukan berteriak menyalahkan keadaan. Berteriak mencaci sampai puas. Padahal tidak akan ada puasnya. Mama pengen bisa mencukupi figur Papa juga untuk kamu. Dan Mama terus mencoba untuk itu. Mama minta pengertian kamu ya?”

Mereka kembali diam. Matahari sudah mulai turun untuk tenggelam.

“Ma, namaku Sekar. Artinya bunga. Aku Bunga Puteri Malu yang berwarna ungu. Tiap hari hanya berwarna ungu. Lalu Bunga Puteri Malu selalu memandangi Matahari, mengaguminya. Matahari begitu hebat dan Si Bunga Puteri malu merasakan dia begitu kuat. Benar-benar kagum Si Bunga Puteri Malu itu, sampai-sampai dia berubah bentuk perlahan, hingga menjadi berbentuk hampir menyerupai matahari. Lalu disebutlah ia Bunga Matahari. Dan Matahari itu adalah Mama”.

Mama tersenyum dalam haru. Di pantai itu ada mereka bertiga sekarang. Matahari yang sedang turun untuk terbenam, Mama sang Mataharinya Sekar, dan Sekar - Si Bunga Matahari. Sekar duduk mendekat Mama, memeluk lengan Mama dan menikmati hangatnya ketiak Mama. Mama membuang rokoknya yang masih panjang. Mereka berdua hanya diam menikmati kedalaman rasa dan makna dari perjalanan hari-hari mereka selama ini.



~EiRa~

Sights by Us

"UNTITLED"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
Pastel & pen on paper




"LIFE"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
Pastel, pencil & pen on paper





"UNTITLED"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
based on a photograph (of Riany Setyandriani & Sesilia Pramudita) with the same title by Dorothea Diba
Pencil on paper




"AKU"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2007
Oil on canvas




"APA ITU"
~Eira Prameswari~, 2010
Color pencil on paper





"KEBIASAAN"
~Eira Prameswari~, 2010
Pen & color pencil on paper





"THE QUESTION ABOUT US"
~Eira Prameswari~, 2006
Poster paint, sticker, hand of clock on ivory paper

Alanis

So do tell me please, Alanis…
What is it that rips your lips
Should you be in freeze
Floating along with breeze
You were the charm
Who did you this harm?
Speak, Alanis, speak…
Long for your sound to hear, not any sight I seek
How can you be so melancholic
It’s not a drama, no need to hide
Though cruel is life, you still have pride
Look at me, Alanis, look m in the eye…
You cross your legs so tight
Cuddling on your own without a single light
I heard you left for a chase of life
Now here you are your soul so shy
Are those tears, Alanis, down your fair cheeks?
Those bright eyes dimmed
That gentle smile feared
Do me a favor, be kind to tell
What turned your life to such a hell
Don’t, Alanis, don’t…
Put down that knife, do shut that grin
What’s in mind, death ain’t an end
Surrender isn’t the word, fight is the theme
What you’ve faced is the code, you’re stronger than you seem
Now I know, Alanis, do cry no more…
You’re not alone, there are a lot
No use of moan, let’s do a bold
They might forget who bring them life
They would regret we’re still alive
It’s you and I, Alanis, and a lot more…
Wipe off the tears, for tears don’t cheer
There’ll be no fears, the light is near
It’s you and I, Alanis, and a lot more…
We’re called women, we deserved more.


.Dorothea Diba.
July 24, 2009





*Details on the picture;
"ALANIS"
drawn by KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
Pastel on Paper

Some Pictures from Bejana

These are some pictures from Bejana, taken and edited by Eira Prameswari

DEVIL'S SIGHT



ENDAS TERI




YULIET LAN YULIET




RABBITO




WAVY-MINDED
(talent : Agatta Stevia)



SUNSET BETWEEN US

Rabu, 10 Februari 2010

Some Pictures from Bejana

These are some pictures of children, taken and edited by Eira Prameswari



-NYORE-





-REFLEKSI-

Kekerasan dalam Hubungan Lesbian

Sewaktu kuliah semester 2 tahun 2006, saya mulai terbuka mengenai identitas dan orientasi seks saya sebagai lesbian. Mulailah saya bergabung dengan teman-teman lesbian lainnya. Dari situ saya mengenal adanya label butch, femme dan androgini. Yang saya amati, seorang butch akan berperan dan berpenampilan mengidentifikasi seperti laki-laki. Untuk femme, peran dan penampilannya seperti perempuan layaknya pasangan heteroseks lainnya. Androgini memiliki penampilan seperti perempuan tomboy. Hanya tomboy. Yang membingungkan, waktu itu sempat mendengar ada teman bertanya, “Kamu andro ke femme atau ke butch ?” Ternyata masih dibagi lagi istilah peran untuk label sepemahaman teman-teman waktu itu.

Label yang sebagai indentitas ini awalnya (yang saya tahu) hanya untuk pengkategorian saja supaya tidak keliru persepsi terhadap identitas yang disandang oleh teman-teman lesbian. Label terkadang diberikan oleh diri sendiri atau bisa juga diberikan oleh teman-teman yang lain. Pernah waktu ditanya seorang teman, “Lu tu, A, B apa F?” Saya menjawab tidak tahu waktu itu. Akhirnya mereka menempelkan label butch untuk saya. “Kalo dari bentukannya, Lu tu B deh”. Okay, akhirnya saya adalah butch sesuai apa kata teman-teman saya. Dari label yang sudah saya sandang, berarti selayaknya saya harus melengkapi label butch saya tersebut seperti kebanyakan butch lain mulai dari penampilan, pembawaan, sampai ke pemikiran. Tapi saya juga memasak, me-repotting tanaman di rumah, membersihkan rumah, terkadang bersolek seperti perempuan lain (walau tidak begitu feminine), dan tanggapan yang saya dapat adalah : “Lu feminin banget ya sebenernya”, “Lu tu bukan butch tapi bencong”. Semua memang disampaikan dengan bercanda, tapi dapat terlihat konstruksi pikiran seperti apa yang sedang terbangun. Pernah juga saya ngambek oleh hal yang dianggap sepele seorang teman butch (sepertinya tidak layak dipermasalahkan oleh sorang butch).Tanggapan yang muncul adalah, “Lu cewek banget sih. Gitu aja marah”. Hey, come on, ucapan dari pikiran yang sangat merendahkan sekali. Saya memang perempuan dan yang berucap tadi itu juga sejatinya sedang berkelamin perempuan. Dimana kelirunya seorang butch yang melakukan hal-hal yang saya lakukan tadi? Apa itu melanggar aturan dari label tersebut? Siapa yang membuatnya? Teman-teman lelaki heteroseks yang saya kenal juga bisa memasak, me-repotting tanaman, membersihkan rumah, dan bisa ngambek. Semua itu boleh dan tidak ada yang melarang. Hanya pikiran-pikiran yang terkonstruksi dengan peran sosial dari pilihan label dari itu sendiri yang membatasinya. Mulai dari itu saya semakin tidak nyaman dengan label yang saya sandang. Akhirnya ketika ditanya saya selalu menjawab, “Saya perempuan yang menyukai perempuan juga. Ga pake label-labelan”. Dari awal memang saya tidak nyaman, hanya mengikuti pemikiran di antara teman-teman saja. Setelah pilihan akhir saya tadi, saya menjadi lebih lega dan leluasa.


Sampai hari ini saya terus menjalani pilihan hidup saya sebagai lesbian. Sesuai pesan dari seorang teman agar saya selalu menghargai orang lain agar saya juga dihargai. Termasuk menghargai diri saya terlebih dahulu dengan tidak mengekslusifkan diri sebagai lesbian. Ketika saya minta untuk dihargai dan disetarakan dengan teman-teman heteroseks, saya berpikir untuk duduk sama rata sebagai manusia saja. Karena saya pikir pemberian dan penggunaan label dalam relasi cinta lesbian malah justru mengkotak-kotakkan dan membatasi dalam banyak hal. Belum lagi identitas tersebut sepertinya harus dipatuhi. Bila tidak, bisa-bisa mendapat sanksi celotehan seperti yang saya alami tadi. Sugesti yang mengungkung. Menurut saya sebetulnya tidak ada yang salah dengan pemilihan identifikasi tersebut. Yang saya lihat semua itu adalah panggilan dari dalam jiwa yang lalu dipenuhi oleh raga. Untuk pengkategorian juga bisa. Setiap orang dalam hubungan sosial membutuhkan identitas agar orang lain tidak salah memperlakukan individu tersebut. Tapi pembedaan tersebut bukan untuk dibeda-bedakan atau bahkan didiskriminasi. Perempuan dalam lingkup heteroseks saja terus berjuang untuk emansipasi selama ini. Hal ini terjadi karena adanya konstruksi yang melenceng dari sistem patriarki. Penggunaan wewenang atas identitas laki-laki yang menjadi menurunkan derajat dan hak perempuan karena laki-laki dikonstruksi selalu berada di atas perempuan dalam banyak hal. Hal tersebut cenderung menjadi bentuk kekerasan psikis bahkan fisik. Saya pikir kekerasan-kekerasan tersebut hanya terjadi di dalam relasi heteroseks saja. Tapi saya pernah melihat hal tersebut terjadi dalam relasi lesbian. Mengagetkan dan geram.

Kejadian yang pernah saya tahu ini kebetulan relasi antara butch dan femme. Mereka tinggal serumah layaknya laki-laki dan perempuan berumah tangga. Peran yang ada di dalam situ layaknya suami dan istri. Si suami bekerja si istri lebih banyak mengurusi urusan rumah. Butch lebih memegang kendali dalam banyak keputusan dan ujung-ujungnya menjadi posesif terhadap femme karena merasa butch (sebut saja Rere) adalah kepala keluarga dan femme sudah selayaknya nurut. Kekerasan psikis yang dialami femme (sebut saja Nana) diikuti dengan kekerasan fisik karena Nana tidak menuruti aturan-aturan Rere. Rere mulai memukul, menampar, bahkan pernah melakukan hal-hal lebih dari itu yang bisa membuat nyawa Nana melayang begitu saja bila diteruskan. Nana dengan segenap cintanya terus bertahan dan Rere justru semakin menjadi mengulang hal tersebut. Ternyata masa lalu dibalik perilaku Rere tersebut, Rere pernah mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya sewaktu kecil sehingga ketika sudah besar Rere beranggapan (dalam alam bawah sadarnya) memukul adalah hal yang lumrah dilakukan ketika marah. Walau di alam sadar Rere tahu itu merupakan hal yang salah tapi mencoba menari pembenaran bahwa Rere memiliki trauma tersebut. Melihat masa lalu Nana, ternyata dia memilih menjalin hubungan dengan perempuan karena memiliki trauma yang menyebabkan dirinya tidak lagi percaya dengan laki-laki. Salah satu alasannya adalah masalah kekerasan psikis dan fisik. Nana mengharapkan pilihannya kali ini dapat memberikan ketenangan lebih karena mencari sosok yang lebih lembut dan lebih mengerti dari sosok laki-laki yang pernah dia temui. Tapi apa yang dia dapat di sini? Seperti memutar kembali film kelam masa lalunya saja. Tidak ada kemajuan yang signifikan dalam kisah Rere dan Nana. Si butch menyakiti, si femme tidak melakukan perlawanan yang bisa lebih memerdekakan dirinya karena pola pikir yang melekat dari konstruksi label yang dianut tersebut. Walau mereka tahu semua itu hal yang salah.

Betapa mirisnya saya melihat mereka waktu itu. Kalaulah mereka berangkat dari trauma untuk memilih menjadi lesbian, jangan sampai hal tersebut diulang lagi. Sama saja menurunkan sistem patriarki (apakah istilah ini tepat digunakan di sini?) yang justru jadi mendiskriminasi perempuan (lagi).





*Picture drawn by: KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
"UNTITLED"
Pastel on Paper

Some Pictures from Bejana

These are some pictures of people activities, taken and edited by Eira Prameswari


-PULAS-





-MANCING-

Selasa, 09 Februari 2010

SELA


Sela...

Terakhir aku melihatmu, dengan janggal kau sandarkan bahu kananmu ke tembok bata itu. Dengan kepala menengadah seakan-akan hampir patah, dengan jumputan-jumputan rambut kusut terurai aneh menutupi lehermu - basah oleh keringat, lembab oleh air mata. Sudah tak mungkin aku menertawakan kepalamu yang setengah botak dan mata kiri yang tak pernah bisa membuka lagi; aku hanya tertegun karena saat itu - tangan kirimu menggenggam sebatang mawar. Mawar merah ranum masih kuncup malu-malu. Kalian berdua - kau dan mawar itu - bersandar di tembok bata - di bawah derasnya hujan.

Sela...
Terakhir aku melihatmu - sebagaimana selalu selama lima tahun sebelumnya, kau berdiri diam-diam hampir tak kenal waktu. Satu bungkus rokok kuhabiskan memandangimu, kuselingi kopi dalam kemasan atau kacang kulit seplastik hitam. Kau abaikan teriakan melengking anak-anak kecil yang datang dan pergi, seakan cemooh sekejam apapun tak kan sanggup membuatmu menoleh dan menggertak. Di tembok bata yang sama, dengan posisi serupa, kau menatap jauh menembus birunya langit, menantang matahari yang membakar kulit keriput lusuhmu. Dan kalaulah hujan turun, kau hanya akan menyeka dahimu sesekali, meringis menautkan kedua alismu, lalu kembali menatap langit.

Sela...
Tak pernah ada jeda dalam hari-harimu, sekedar mengais makanan atau berjongkok melemaskan kedua kakimu. "Orang gila! Orang gila!", kata mereka - dan kau tak bergeming. Satu dua batu mengenai tubuhmu, kau bahkan tak melirik. Dan terakhir aku melihatmu, dengan mawar merah ranum itu, Bapak-Bapak penghuni kampung yang biasa berjudi di warung sudut ikut datang menontonmu - diam termangu memandang mawar dalam genggamanmu. Saat itu tepat lima belas menit sebelum detik ini, saat kami semua menjerit tertahan. Kotak beroda empat menyambarmu dan berlari kencang menderu-deru, meninggalkan tubuhmu terbaring di tepi tembok bata. Aku tak tau apakah itu warna asli gaun lusuhmu yang terlihat lebih merah - merah ranum menyerupai mawar yang masih kau genggam. Basah tubuhmu lebih lekat dan pekat, namun tak membuatmu terlihat tak berdaya. Kau bahkan tersenyum - untuk pertama kali dalam hidupku, aku melihatmu tersenyum. Dan saat orang-orang berbelas kasih beranjak menutupi tubuhmu dengan lembaran-lembaran koran, aku tersadar, mungkin inilah yang kau tunggu. Panggilan Yang Kuasa untuk meninggalkan hidupmu; bersandar pada tembok bata dan hidup dalam duniamu sendiri, bergerak diam-diam bersama anganmu, tertawa dan menangis dalam dinginnya parasmu. Mawar itu pastilah hadiah entah dari siapa, tanda perginya kau ke tempat yang disebut akhirat, tempatmu bahagia abadi tanpa harus terluka lagi.

Sela...
Pergilah. Tinggalkan dunia yang kejam ini, hiduplah dengan tenang. Beristirahatlah, Sela.

.Dorothea Diba.
.2009.

*Details on the picture;
"SCHIZOPRENIA"
>based on a photograph with the same title by ~EiRa Prameswari~
drawn by KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
Pencil on Paper

Sights by Us

"PRETENDED MAGMA"
~EiRa Prameswari~
Pastel on Paper



"SPRINKLESS"
~Eira Prameswari~
Pastel on Paper



"KOTAK"
~Eira Prameswari~
Pastel on Paper



"FLOWER GIRL"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2008
Oil on Canvas
*Used as a cover for one of the four pocket book series on Women Issues in North Sumatra

Menjadi Seorang Ibu




Aku ingat pernah berkata ke Ibuku sewaktu masih duduk di bangku SMU, "Mama, Diba tadi lihat buku tentang melahirkan anak. Seram ya Ma, dari lubang sekecil itu, bisa keluar bayi! Mama dulu nggak takut?" Tanggapan Ibuku saat itu sederhana, " Kalau dipikirin sekarang ya pasti seram. Nggak usah dibayangin, suatu saat nanti mungkin bakal ngalamin sendiri. Setelah melahirkan nanti, tiba-tiba semua sakitnya lewat, nggak ada lagi rasa takut.

Sekitar dua tahun yang lalu, ditengah percakapan dengan topik 'Akan Menjadi Ibu Seperti Apa Kita Nanti', salah satu sahabatku mengungkapkan bahwa Ia harus sudah memiliki deposito berjumlah minimal sepuluh juta rupiah khusus untuk biaya pendidikan anaknya baru Ia berani untuk betul-betul memiliki seorang anak (angka itu baru berubah beberapa hari yang lalu menjadi sekitar tiga puluh juta rupiah begitu mengetahui uang pendaftaran anak ke Taman Kanak-Kanak saat ini bisa mencapai delapan juta rupiah).

Beberapa teman juga sempat membayangkan akan seperti apa mereka ketika mempunyai anak nantinya, "Pokoknya aku nggak mau pake Baby Sitter, harus aku sendiri yang urus. Kalo aku kerja? Ya Mamiku yang jagain," atau, "Senangnya kalo anakku nanti mengikuti hobiku, jadi kami bisa belanja bareng," atau, "Anakku nggak boleh main yang kotor-kotor dan dia harus les sana-sini biar pintar," dan berbagai rencana lainnya dari mereka masing-masing.

* * *

Mengapa aku membawa 'Menjadi Seorang Ibu' sebagai sebuah topik sementara sesungguhnya belum perlu kupikirkan? Pikiranku terusik ketika beberapa waktu lalu aku mendengar kabar bahwa salah satu teman yang kusayangi sedang hamil. Bukan ketidaktahuan hingga keterkejutanku yang mengusik pikiranku. Kehamilan itu direncanakan oleh mereka berdua dan aku senang karena itu berarti sama sekali tak ada rencana untuk menggugurkannya dari mereka berdua. Hanya saja, menurutku, kalau sudah direncanakan (yang dengan istilah mereka, 'diniatin'), sebaiknya mereka sudah mempersiapkan diri betul dalam menyambut bayi ini. Aku tak tau apakah pikiranku tepat, tapi setidaknya demikian saran bagi mereka (yang masih kusimpan dalam hati);

1. kestabilan emosional: ini berarti setidaknya mereka tidak memiliki beban apapun yang dapat membuat mereka (terutama yang perempuan) mudah tertekan atau terbebani - tidak ada masalah dengan orang tua atau orang dekat lainnya, tidak memiliki beban dari masa lalu yang masih dapat mengganggu, dsb.

2. finansial: kehamilan membutuhkan asupan gizi yang cukup, belum lagi memikirkan ngidamnya, kebutuhan akan baju yang tidak membatasi ruang gerak si calon ibu, biaya periksa rutin ke dokter, mengikuti program senam hamil (bila diperlukan), akses ke sumber informasi mengenai kehamilan (buku-buku, majalah, dll)

3. lingkungan: berkaitan dengan lingkaran teman si calon ibu (juga calon ayahnya) - jangan sampai masih tergiur untuk mengkonsumsi rokok atau alkohol, misalnya, atau malah masih pergi dugem hingga dini hari, bersih dan nyaman tidaknya lingkungan tempat tinggal mereka, apakah orang-orang di sekitar mereka adalah orang-orang yang supportif dan membantu menjaga sang calon ibu selama masa kehamilannya, dsb

Aku percaya akan kalimat 'anak adalah sumber berkat'. Aku meng-Amin-i kata-kata bahwa 'kalau untuk anak, pasti selalu ada jalan', tapi tidak berarti tanpa persiapan apapun (atau dengan persiapan yang dijalankan begitu si calon ibu memasuki masa-masa awal kehamilan sehingga terkesan panik atau masih harus repot urus ini-itu kesana-kemari). Aku pribadi sudah mengkeret semasa masih SMA menyadari sulitnya melahirkan seorang anak. Itu baru masalah 'kelahiran'. Belum mempertimbangkan apa-apa yang akan kuhadapi selama masa kehamilan, juga setelah kelahiran; biaya susu dan kesehatan, semua kebutuhan mencakup pakaian serta perlengkapan bayi lainnya, pendidikan ketika si anak mulai beranjak besar, dsb.

Aku tidak heran sebagian besar temanku berpikir panjang ketika membicarakan masalah keinginan memiliki anak. Kami sadar betul anak bukan mainan atau sesuatu untuk kesenangan semata. Khusus bagi beberapa di antara kami yang sudah memiliki pasangan walau belum menikah, anak juga bukan sekedar mimpi sebagai 'pelengkap kebahagiaan' karena memiliki anak berarti siap mencurahkan atau mengorbankan apapun - segalanya - bagi sang anak. Maka aku tidak menganggap temanku mengada-ada ketika Ia bercita-cita memiliki deposito dalam jumlah tertentu sebelum akhirnya mewujudkan keinginannya menjadi seorang Ibu, atau ketika temanku yang lain berandai-andai akan seperti apa aktivitasnya bersama sang anak tanpa melupakan bahwa Ia pun harus bekerja keras untuk dapat mewujudkan gambaran yang Ia punya.

Bagi pasangan-pasangan tertentu yang berkeputusan untuk memiliki anak - lepas dari masalah dengan atau tanpa status 'menikah' - silahkan dipersiapkan betul diri masing-masing, secara bersama-sama (kecuali yang perempuan berkeputusan untuk membesarkan anaknya sendirian/single parent) demi kondisi calon ibu dan kehidupan si bayi. Bagi mereka yang menyebut kehamilan sebagai 'kecelakaan', entahlah. Aku pribadi selalu memilih menyarankan teman-temanku yang mengalaminya untuk tetap bertahan hingga si bayi lahir - aku tidak bersedia menyinggung aborsi disini. Bagi mereka yang melakukan hubungan seks bebas, silahkan melakukannya dengan 'aman' jika belum siap betul untuk memiliki seorang anak. Kita semua tentu tidak mau ada bayi-bayi terlahir tanpa kasih sayang, perlindungan, jaminan kesehatan dan pendidikan, penyediaan fasilitas serta ketenangan hidup secara utuh, bukan?


.Dorothea Diba.
.2010.

*Picture drawn by: KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
"PEREMPUAN"
Pencil on Paper

Some Simple Drawings



"DECISION"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2008
Colour Pencil and Pastel on Paper



"SESAK"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
Pencil on Paper



"BALLERINA"
*based on a photo (Unknown)
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2008
Pencil and Patel on Paper

Senin, 08 Februari 2010

Dimana Anakku

Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana buah hatiku?

Aku mencarinya sepanjang malam ini. Di rumah tetangga, di tempat katanya dia biasa bermain pasir, di ayunan sekolah, di atas pohon arbei yang suka sekali dia panjat. Tidak ada. Gelisah.

Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana belahan jiwaku?

Kucari sekali lagi di dalam kotak susu vanila madu kesukaannya, di kolong tempat tidur, di keranjang berisi tumpukan mobil-mobilan, di setiap halaman buku penuh gambar laut dan Sponge Bob kesayangannya. Tak juga ketemu. Bingung. Limbung.

Jemari kiriku meremas lengan kanan. “Tenang”, kataku pada diriku, tapi kernyit dahi terus bertanya, “Di mana dia? Sudah semalaman aku masih belum menemukannya?” Perutku sudah mulai tidak terima, “Kemana anakku? Seharusnya dia ada waktu aku pulang kerja”, mulas. Kepalaku tiba-tiba gatal. Kugaruk sekali, dua kali, hingga berkali-kali. Rambutku mulai awut-awutan. Kuambil segelas air putih lalu kuteguk sampai tak bersisa. Namun pertanyaanku masih tersisa begitu banyak dan kerongkonganku ini tak berhenti kering. Kakiku berjalan gontai menuju kamar. Kubuka pintu. Panel pintu mengembun tersentuh tanganku yang mendingin. Kututup pintu, lalu kaki yang tak kuat menumpu tubuh lemasku ini ambruk tepat di belakang pintu.

Aku tak tahu.
Aku tak tahu.
Aku tak tahu lagi.

Tapi aku harus tahu di mana anakku. Dia darah dagingku, tapi kini aku tetap tak tahu. Anakku……..

Pandangan mata kulempar kesana kemari, ke semua sudut, tak beraturan. Napas tertahan di hati sesakku sampai lupa kuhembuskan beberapa saat. Jantung ini mulai lemas, malas berdetak karena jengah pada setiap pikiranku yang hanya terus menerus bertanya dan tak kunjung menemukan jawabannya.

Kupejamkan mata lalu berdoa. Kutata ulang lagi setiap hembusan napasku. Aku harus lebih tenang. Limbung tidak akan menemukannya. “Ayo Eka, kali ini pasti bisa menemukannya. Ikuti naluri keibuanmu”, mataku terbuka perlahan, cahaya lampu kamar terasa lebih terang daripada tadi. Gerak tangaku mulai mengikuti naluri. Kuambil telpon genggam dari saku celana jeans. Berat sekali rasanya harus menelpon sebuah nama di buku telpon ini. Utomo, tapi kali ini aku sudah tidak ingin membuang waktu lagi. Dua kali dering nada sambung langsung disaut oleh suara lelaki yang terdengar berat dari seberang sana, “Ya? Kenapa, Ka?”, musik berdentum keras menyamarkan suaranya. Bibirku bergetar namun terus kuusahakan untuk berucap. “Adit lagi sama kamu ga, Mas?”. “Apa? Kenapa?”, dentuman-dentuman musik itu ternyata mengalahkan suaraku. Tarikan napas yang dalam kuambil lalu mengulang kalimatku dengan lebih jelas, “Adit lagi sama kamu ga, Mas Tom?”. Suara lantang dengan nada heran bercampur kesal menderu panjang persis di telingaku, “Hah? Aneh kamu. Emang sekarang aku lagi di mana? Ya ga mungkinlah! Kok bisa? Kemana dia malem-malem gini? Kamu pasti ga becus ngurusin anak. Kerjaan aja terus diurusin! Terus kemana anak itu malem-malem gini? Kalo ga bisa ngurus an……..”, semua dentuman, suara lantang, makian menjadi samar. Telpon genggam menggeletak di lantai parquet sambil kutatapi dengan kosong. Maki-makian yang lantang dan menusuk hati masih terdengar lirih tak mau berhenti. Aku sudah tak ingin mendengarnya lagi tapi masih tetap saja terdengar.

Aku tak berguna kini, hanya sekedar bernyawa saja. Sensasi rasa pahit dari kehilanganku ini mematikan semua indera, bahkan indera keenam keibuanku. Habis sudah daya. Aku masih tersandar dan bernapas di balik pintu kamar. Tak lagi bisa mengandalkan naluri. Mulai berimajinasi. Adit tertawa menggelendot di perut hangatku lalu melompat ke kasur. Didudukinya bantal berisi bulu angsa yang gembul itu. “Adit, ga boleh dudukin bantal ah, sayang. Pamali”, aku menggeleng sebagai isyarat tidak boleh, lengkap dengan kernyitan dahi. Adit malah sengaja memantulkan pantatnya di atas bantal sambil tertawa renyah. Halusinasi.

Segala lelah menidurkanku dengan mata terus terbuka, masih pada posisi yang sama.



***


Alarm jam berdering tepat pukul 4.55. Tuti terbangun kaget. Tangan kirinya meraih jam beker lalu dimatikan lekas-lekas. Dikejap-kejapkan mata merahnya untuk menyudahi kantuk. Perlahan tangan kanan ditarik sembari bangkit dari baringnya. Hati-hati sekali, karena semalaman Adit tidur bersembunyi di ketiaknya seperti banyak malam sebelumnya. Ditatapi sejenak paras bocah enam tahun itu, lembut. Jari berkulit tebalnya menyapu poni Adit. Senyuman tersungging tipis melihat si bocah masih tertidur pulas. Gairah paginya sekejap jadi bangkit begitu saja. Seperti biasa, Tuti keluar kamar, mematikan lampu depan, membuka gorden-gorden, berjalan menuju dapur. Dilihat tas Ibu sudah di atas kursi ruang tengah. Senyum terpulas lagi di wajah berminyaknya, membayangkan Ibu sedang tertidur tenang di kamar setelah seharian kecapaian. Ditemani ceret dan api kompor Tuti meramu secangkir teh celup, satu sendok madu, ditambah seujung sendok garam halus. Mug putih favorit Adit bergambar konyol Sinchan dan Mamanya diisi satu setengah sendok susu bubuk coklat dan satu sendok yang rasa stroberi.



Solo,
2-3 Januari 2010
O2:18

~Eira Prameswari~

Some Pictures from Bejana

These are some pictures of beauty, taken and edited by Eira Prameswari

-MENTARI MALAM-



-PRAMBANAN SENJA-





-LADY SUNSET-





-SHE & SHE-




*Exhibited in IDAHO 2008 (International Day Against Homophobia), at Jogja National Museum, Yogyakarta