Senin, 08 Februari 2010

Dimana Anakku

Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana buah hatiku?

Aku mencarinya sepanjang malam ini. Di rumah tetangga, di tempat katanya dia biasa bermain pasir, di ayunan sekolah, di atas pohon arbei yang suka sekali dia panjat. Tidak ada. Gelisah.

Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana belahan jiwaku?

Kucari sekali lagi di dalam kotak susu vanila madu kesukaannya, di kolong tempat tidur, di keranjang berisi tumpukan mobil-mobilan, di setiap halaman buku penuh gambar laut dan Sponge Bob kesayangannya. Tak juga ketemu. Bingung. Limbung.

Jemari kiriku meremas lengan kanan. “Tenang”, kataku pada diriku, tapi kernyit dahi terus bertanya, “Di mana dia? Sudah semalaman aku masih belum menemukannya?” Perutku sudah mulai tidak terima, “Kemana anakku? Seharusnya dia ada waktu aku pulang kerja”, mulas. Kepalaku tiba-tiba gatal. Kugaruk sekali, dua kali, hingga berkali-kali. Rambutku mulai awut-awutan. Kuambil segelas air putih lalu kuteguk sampai tak bersisa. Namun pertanyaanku masih tersisa begitu banyak dan kerongkonganku ini tak berhenti kering. Kakiku berjalan gontai menuju kamar. Kubuka pintu. Panel pintu mengembun tersentuh tanganku yang mendingin. Kututup pintu, lalu kaki yang tak kuat menumpu tubuh lemasku ini ambruk tepat di belakang pintu.

Aku tak tahu.
Aku tak tahu.
Aku tak tahu lagi.

Tapi aku harus tahu di mana anakku. Dia darah dagingku, tapi kini aku tetap tak tahu. Anakku……..

Pandangan mata kulempar kesana kemari, ke semua sudut, tak beraturan. Napas tertahan di hati sesakku sampai lupa kuhembuskan beberapa saat. Jantung ini mulai lemas, malas berdetak karena jengah pada setiap pikiranku yang hanya terus menerus bertanya dan tak kunjung menemukan jawabannya.

Kupejamkan mata lalu berdoa. Kutata ulang lagi setiap hembusan napasku. Aku harus lebih tenang. Limbung tidak akan menemukannya. “Ayo Eka, kali ini pasti bisa menemukannya. Ikuti naluri keibuanmu”, mataku terbuka perlahan, cahaya lampu kamar terasa lebih terang daripada tadi. Gerak tangaku mulai mengikuti naluri. Kuambil telpon genggam dari saku celana jeans. Berat sekali rasanya harus menelpon sebuah nama di buku telpon ini. Utomo, tapi kali ini aku sudah tidak ingin membuang waktu lagi. Dua kali dering nada sambung langsung disaut oleh suara lelaki yang terdengar berat dari seberang sana, “Ya? Kenapa, Ka?”, musik berdentum keras menyamarkan suaranya. Bibirku bergetar namun terus kuusahakan untuk berucap. “Adit lagi sama kamu ga, Mas?”. “Apa? Kenapa?”, dentuman-dentuman musik itu ternyata mengalahkan suaraku. Tarikan napas yang dalam kuambil lalu mengulang kalimatku dengan lebih jelas, “Adit lagi sama kamu ga, Mas Tom?”. Suara lantang dengan nada heran bercampur kesal menderu panjang persis di telingaku, “Hah? Aneh kamu. Emang sekarang aku lagi di mana? Ya ga mungkinlah! Kok bisa? Kemana dia malem-malem gini? Kamu pasti ga becus ngurusin anak. Kerjaan aja terus diurusin! Terus kemana anak itu malem-malem gini? Kalo ga bisa ngurus an……..”, semua dentuman, suara lantang, makian menjadi samar. Telpon genggam menggeletak di lantai parquet sambil kutatapi dengan kosong. Maki-makian yang lantang dan menusuk hati masih terdengar lirih tak mau berhenti. Aku sudah tak ingin mendengarnya lagi tapi masih tetap saja terdengar.

Aku tak berguna kini, hanya sekedar bernyawa saja. Sensasi rasa pahit dari kehilanganku ini mematikan semua indera, bahkan indera keenam keibuanku. Habis sudah daya. Aku masih tersandar dan bernapas di balik pintu kamar. Tak lagi bisa mengandalkan naluri. Mulai berimajinasi. Adit tertawa menggelendot di perut hangatku lalu melompat ke kasur. Didudukinya bantal berisi bulu angsa yang gembul itu. “Adit, ga boleh dudukin bantal ah, sayang. Pamali”, aku menggeleng sebagai isyarat tidak boleh, lengkap dengan kernyitan dahi. Adit malah sengaja memantulkan pantatnya di atas bantal sambil tertawa renyah. Halusinasi.

Segala lelah menidurkanku dengan mata terus terbuka, masih pada posisi yang sama.



***


Alarm jam berdering tepat pukul 4.55. Tuti terbangun kaget. Tangan kirinya meraih jam beker lalu dimatikan lekas-lekas. Dikejap-kejapkan mata merahnya untuk menyudahi kantuk. Perlahan tangan kanan ditarik sembari bangkit dari baringnya. Hati-hati sekali, karena semalaman Adit tidur bersembunyi di ketiaknya seperti banyak malam sebelumnya. Ditatapi sejenak paras bocah enam tahun itu, lembut. Jari berkulit tebalnya menyapu poni Adit. Senyuman tersungging tipis melihat si bocah masih tertidur pulas. Gairah paginya sekejap jadi bangkit begitu saja. Seperti biasa, Tuti keluar kamar, mematikan lampu depan, membuka gorden-gorden, berjalan menuju dapur. Dilihat tas Ibu sudah di atas kursi ruang tengah. Senyum terpulas lagi di wajah berminyaknya, membayangkan Ibu sedang tertidur tenang di kamar setelah seharian kecapaian. Ditemani ceret dan api kompor Tuti meramu secangkir teh celup, satu sendok madu, ditambah seujung sendok garam halus. Mug putih favorit Adit bergambar konyol Sinchan dan Mamanya diisi satu setengah sendok susu bubuk coklat dan satu sendok yang rasa stroberi.



Solo,
2-3 Januari 2010
O2:18

~Eira Prameswari~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar