Sabtu, 06 Maret 2010

Words of Thoughts - KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Suatu waktu Saya membaca buku kecil berjudul "Cuplikan Sejarah Gerakan Perempuan & Catatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional"* - sampai saat ini Saya ingat betul bagaimana Saya berhenti sejenak setelah membaca salah satu halamannya; kemudian membacanya ulang lalu berhenti dan terdiam lagi untuk yang kedua kalinya. Di sini Saya kutip isi halaman tersebut.

Tabel 2. Tabulasi KTP** dari 2 koran lokal*** 2005-2007




Hal pertama yang mengejutkan Saya adalah angka. Sungguh - silahkan sebut Saya naif atau buta - tak pernah Saya bayangkan angka-angka sebesar ini sebagai jumlah perilaku kekerasan terhadap perempuan, padahal ini baru di satu daerah saja tanpa mengabaikan bahwa angka-angka tersebut juga hanya untuk rentang waktu tertentu. Hal kedua adalah kolom "Jenis Kasus"; kelima belas jenis kasus yang tertera disitu membuka mata Saya akan apa yang (mungkin, sedang atau telah) terjadi di sekitar Saya - dan kita semua.

Ada beberapa pertanyaan dalam benak saat Saya mencermati tabel tersebut:
1. Apa batasan untuk kata 'Pencabulan'? Apakah siulan atau ujaran berupa "Hai Cewek...", atau "Satu, Dua, Satu, Dua" (yang sering diucapkan dengan nada iseng mengikuti gerakan tubuh satu perempuan yang sedang berjalan) termasuk di dalamnya? Apa tepatnya yang dimaksud dengan kata 'Pencabulan' ini - apa-apa yang termasuk di dalamnya?
2. Untuk 'KDRT'**** - apakah pembentakan dan pemaksaan hubungan seksual termasuk di dalamnya?
3. Lalu bagaimana dengan 'Bunuh Diri' (juga untuk jenis Percobaan Bunuh Diri)? Apakah alasan atau sebab tindak bunuh diri yang dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan (karena jelas-jelas si perempuan-lah yang mengakhiri nyawanya sendiri)?. Misalnya, ketika seseorang (perempuan) memutuskan untuk menghabisinya nyawanya karena tidak tahan akan perlakuan pasangan? Jika kemudian hal-hal seperti ini terungkap saat penyidikan (oleh pihak Kepolisian) - apakah orang yang menyebabkan perempuan tersebut tertekan hingga (mencoba) bunuh diri akan tetap diadili?
4. Untuk jenis 'Pelecehan Seksual' - apakah ini memang dikategorikan secara terpisah atau mencakup pelecehan seksual yang juga terjadi dalam rumah tangga?
5. Apa sebenarnya maksud dari jenis 'Tidak Senang' dan apa-apa saja yang menjadi contoh kasus 'Lain-lain'?


Pertanyaan-pertanyaan ini membawa Saya pada; apa yang dapat Saya lakukan? Banyak. Banyak sekali, sesungguhnya - tetapi Saya memilih untuk mencoba mengerti terlebih dahulu. Mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sekitar Saya - mulai dari diri Saya sendiri sebagai perempuan. Apakah Saya sendiri (sadar atau tidak) pernah melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan (terutama yang bersifat kekerasan psikis)? Lalu beranjak pada orang-orang yang dekat dengan Saya secara pribadi - apakah pernah mengalaminya? Apa yang bisa Saya lakukan untuk membantu memperbaiki keadaan - bila diperlukan? Apakah Saya perlu menyuarakannya? Pada siapa? Pada masyarakat luas? Untuk apa? Apakah untuk sesuatu yang sering diucapkan sebagai 'peningkatan kesadaran'? Kesadaran akan apa tepatnya?

Bagi Saya sendiri, terlalu banyak pertanyaan yang ada dalam benak Saya - lebih karena ketidakmengertian. Saya bisa saja - sebagaimana yang mungkin banyak orang lain lakukan - membaca atau mengikuti berita-berita yang berkaitan dengan masalah ini - dan membicarakannya. Apakah hanya akan berhenti di pembicaraan saja - sebagaimana yang terjadi pada pertanyaan-pertanyaan Saya selama ini? Saya bisa saja berangan-angan untuk turun ke lapangan - ikut serta dalam program-program lembaga tertentu sebagai volunteer atau bermimpi mengumpulkan teman-teman, mengadakan satu event dengan mengangkat issue ini atau menyampaikannya dalam bentuk karya (sebagaimana yang mungkin dilakukan oleh orang lain; berupa film, foto, dsb). Tetapi terlalu besar impian itu bagi Saya, terlalu jauh. Keprihatinan Saya - sebagaimana diri Saya sendiri - masihlah berupa bayi atau bahkan janin dalam hal ini.

Kembali pada tabel yang Saya kutip di atas, Saya bertanya-tanya lagi; itu yang terjadi di salah satu provinsi dari sekian banyak provinsi di negara ini - bagaimana dengan daerah lain? Dan kalaulah tabel tadi - lepas dari isi buku yang Saya baca tersebut secara keseluruhan - bisa dikatakan merupakan potret, bagaimana penyelesaian masalah ini? Apa yang dapat mengurangi angka-angka tersebut (tanpa berani bermimpi bahwa angka-angka itu dapat berubah menjadi 'nol' pada suatu ketika)? Undang-Undangkah? Berikut Saya kutip masih dari buku yang sama.

"... ... ... banyaknya kasus yang tidak dibuka ke publik, ataupun dibawa ke hukum. Sebagian kasus diselesaikan menurut hukum adat yang cenderung mengabaikan korban serta keterlibatan perempuan, bahkan mengabaikan substansi kasus-kasus tersebut."

Dibawah ini Saya kutip mengenai 'hukum' dari Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm:2002);

"Diane Polan menyatakan bahwa struktur hukum secara keseluruhan - organisasi hirarkisnya, format sebaliknya, dan bias yang mendasarinya demi rasionalitas, pada dasarnya adalah patriarkhis (Polan 1982)."

Disahkannya Undang-Undang yang merupakan salah satu usaha perlindungan perempuan; berhasilkah? Berkurangkah tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia ini? Seberapa besar pengaruh Undang-Undang tersebut atas kekerasan terhadap perempuan? Apakah Undang-Undang itu berjalan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya?

Lalu bagaimana dengan adat-istiadat? Banyak dari kita yang masih berpegang kuat dengan norma adat - misalnya, malu atau takut membuka pada keluarga besar tentang kekerasan yang dialami dalam keluarga inti - atau bahkan berani membicarakannya pada Saudara atau keluarga diluar keluarga inti namun tidak ada yang bisa dilakukan; sebut saja karena hal-hal demikian disebut 'aib'.

Apa yang dapat kita lakukan dari diri kita sendiri? Hal kecil apa yang dapat mulai kita perhatikan atau perjuangkan bila Kekerasan Terhadap Perempuan terjadi di sekitar kita?


* Buku pertama dari empat seri Buku Kecil yang dikeluarkan oleh PESADA (Perkumpulan Sada Ahmo - salah satu LSM yang bergerak di bidang perempuan di Sumatera Utara) sebagai pegangan internal lembaga tersebut - Tabel diambil dari hal.44
** Kekerasan Terhadap Perempuan
*** Koran lokal provinsi Sumatera Utara - tidak disebutkan harian apa tepatnya
****Kekerasan Dalam Rumah Tangga





*Picture drawn by: KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
"Violence Against Women"
Pencil & pastel on Paper





(cover buku "Cuplikan Sejarah Gerakan Perempuan & Catatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional")

Tentang Adin dan Mia

Adin terbangun. Kaget. Meraih handphone hitamnya, melotot menatap angka 07.30, dan meloncat tergesa-gesa. Membuka pintu kamar dengan kasar, setengah berlari menuju kamar mandi, kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Berdiri tegak di tengah ruangan, ia memandang langit-langit, berusaha mengingat pukul berapa tepatnya ia memiliki janji untuk bertemu pagi ini.

"Hei. Lho. Belum bangun?", Adin memutuskan menelepon Mia, sahabatnya.
"Mmm? Ini jam berapa..?"
"Setengah delapan. Lebih. Kita ketemuan jam berapa ya Mi? Aku lupa..."
"Astaga Din... Jam sebelas..."
"Oh?", Adin tertawa kecil, "Maaf Mi, maaf, aku kecepatan bangunnya. Ya udah tidur lagi sana, sampai ketemu nanti ya..."
"Mmm. Adiiin... pasti mikirnya harus ke kantor deh makanya bangun jam segini. Ya udah ya, sampai nanti... Di kantin kampus Din, jangan sampai lupa ya..."
"Haha.. Oke. See you soon."
"Mmm. Bye..."

Adin beranjak ke arah jendela, membuka tirai hijau besar yang menutupi pemandangan ke arah balkon kecil di luar kamarnya. Sinar matahari mulai menerangi seluruh ruangan saat Adin mengira-ngira apa yang membuat Mia mengajaknya bertemu hari ini. Hari Sabtu memang hari beristirahat, saatnya bangun siang karena kantor tidak mengharuskannya bekerja. Tetapi datang ke kampus tempat ia pernah kuliah sebelum menghentikannya dan berjanji untuk makan siang di kantin? Satu hal yang dalam enam bulan terakhir tidak pernah ia lakukan lagi. Ia masih menduga-duga hingga setengah jam setelahnya, duduk di kursi sudut ruangan dengan secangkir kopi panas. Ada apa? Mia ribut lagi dengan pacarnya? Atau ia sedang ada masalah dengan Ibunya? Atau...

"Hai...", sapa Mia sambil merentangkan kedua tangan, berjalan menuju tempat Adin duduk dengan segelas besar kopi hitam pekat. Mereka berpelukan dan sesaat setelahnya Mia sudah duduk manis di hadapannya. "Udah lama Din?".
Adin menatap jam hitam mungil di pergelangan tangan kanannya. "Setengah jam, nggak lama kok," jawabnya sambil tersenyum. "Tadi bimbingan? Gimana? Udah bisa maju ke penelitian?"
Mia mengangguk dengan senyum cerah. "Udah, lumayan cepat kalau dosen pembimbingnya yang ini. Mas!", serunya tiba-tiba sambil melambaikan tangan, "Es teh manis satu ya." Ia menatap Adin sejenak, menunduk, lalu mengangkat wajahnya kembali. "Ini rokok kenceng amat Din."
Adin menggeleng pelan. "Mi... Ada apa?", tanyanya tanpa lebih banyak basa-basi.
Pesanan Mia datang. Ia mengaduk es tehnya perlahan dengan sedotan plastik.
"Mi...", panggil Adin, menatap wajah Mia lekat-lekat.
Mia tersenyum. "Nggak ada apa-apa Din... Kangen aja...".
Kedua alis Adin terangkat. "Mi, ayo dong... Ni ngajak ketemuan tiba-tiba begini ada apa? Kok tumben banget?"
"Lho biasanya kan kita memang sering tiba-tiba janjian ketemu. Kenapa sih Din curiga amat? Kangen doang...".
Adin menghela nafas panjang. "Oke.", sahutnya, "So how is life going?"

Mereka berdua berbincang seakan tidak bertemu dalam hitungan tahun. Lama sekali, masing-masing menghabiskan dua gelas besar minuman dan berbatang-batang rokok. Perbincangan panjang yang hampir terkesan kering dan dingin.
"Senin ngantor Din?", tanya Mia sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas hitam besarnya.
"Iya dong...", Adin mematikan rokoknya, "Kenapa?"
"Enggak, nanya aja," jawab Mia, melirik tidak suka pada asbak berisikan beberapa puntung rokok. "Itu dikurangin dong Din, ga sehat. Ga bagus. Udah mulai sering batuk-batuk kan?"
Adin tersenyum sekilas. "Nafasnya mulai bunyi kalau malam."
Mia melotot.
"Udah deh Mi... Nggak apa-apa kok. Jadi..? Kapan kita ketemu lagi?"
"Aku masih kangen Din..."
Adin menggenggam tangan Mia. "Iya, aku juga. Tapi ya mau gimana, hidupnya udah beda-beda gini. Kamu sibuk skripsi, aku udah punya jam kantor sekarang. Susah ngepasin jam buat ketemu. Paling Sabtu atau Minggu. Atau besok mau ketemu?"
Mia diam.
"Ya udah, besok kabarin aja kalau mau ketemu ya. Aku kosong kok sampai sore."
"Malamnya?"
"Harus cepat tidur, Mi... Daripada telat bangun paginya...".

Setelahnya, Mia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, memijat keningnya perlahan. Kenapa ya aku nggak bisa ngomong ke Adin? Aku pengen Adin tau... Aku pengen ditemenin Adin. Tapi rasanya udah jauh, rasanya udah nggak kayak dulu lagi sama Adin. Adin pasti sibuk, apa dia peduli kalau aku cerita? Di tempat berbeda, Adin memutar komposisi klasik karya Chopin, kesulitan menenangkan pikirannya dari Mia. Pasti ada sesuatu. Pasti Mia sebenarnya pengen cerita. Tapi kenapa dia nggak ngomong? Apa dia sebenarnya nggak pengen aku tau? Nggak pengen bagi ke aku? Terus kenapa dia minta ketemu? Kok rasanya beda ya? Mia dan aku udah nggak seperti dulu lagi...

Mia terbangun tepat pukul lima sore setelah sebelumnya tertidur masih dengan baju yang ia kenakan ke kampus pagi harinya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan duduk pelan-pelan. Tatapannya lurus ke arah satu lukisan minyak di atas kanvas. Perempuan dengan bunga besar di sisi kanannya. Menoleh ke sisi kiri kamarnya, lukisan kecil bergambarkan bayangan kucing menatap jendela tergantung rapi di dinding. Keduanya oleh Adin. Pelan air matanya jatuh. Ia menyekanya. Aku harus cerita.

Lagi apa Din? Begitu pesan singkat yang Adin terima lewat handphone kesayangannya. Segera ia menghentikan ketikan yang merupakan tugas kantor yang ia bawa pulang. Menatap ke jendela dan melihat wajah Mia disana. Sesuatu mendera hatinya. Rasa yang selalu datang saat Mia sedang tidak dalam keadaan baik. Lagi ngetik, jawabnya. Ia bingung harus berkata apa lagi. Ingin bertanya, tapi ia takut jawaban Mia tidak akan menjelaskan apapun. Hanya berupa tidak apa-apa, nanya aja atau oh ya udah, take care. Adin melanjutkan ketikannya. Berjarak beberapa puluh meter dari tempat Adin duduk, Mia meletakkan handphone ke atas meja. Kecewa. Adin bahkan tidak bertanya.

Jarum jam menunjuk angka tujuh saat Adin menyelesaikan ketikannya. Ia meraih handuk, beranjak untuk mandi setelah menyadari tubuhnya lengket oleh keringat. Saat ia kembali ke dalam kamarnya dengan rambut basah dan berlilitkan handuk, pandangannya tertuju pada satu foto berbingkai kayu coklat tua. Ia dan Mia. Pelan ia mengenakan celana pendek hitam dan kemeja longgar putih milik Ibunya sambil memandangi foto itu. Lama sekali rasanya setelah saat itu, lama sekali tidak berbagi waktu bersama - berbagi tawa dan tangis. Ia jongkok sambil mengacak-acak rambut basahnya dengan handuk, masih memandangi foto yang sama. Ia harus bertemu Mia. Segera ia mengetik pesan singkat untuk dikirim pada Mia. Mi, ada acara? Jalan yuk?

Pukul delapan malam saat Mia tiba di teras kost Adin. Adin sudah siap dengan ransel hitamnya, menunggu Mia sambil berdiri bersandar pada tembok pagar.
"Kok nggak sekalian kujemput aja sih Mi?"
"Deket ini. Aku jalan aja. Ayo mau kemana?"
"Udah makan?"
Mia menggeleng.
"Yuk, kita lihat sambil jalan."
Dalam mini cooper tua berwarna hitam, kedua sahabat itu duduk berdampingan tanpa bicara. Hanya The Beatles yang bersuara menemani sepinya mereka berdua saat seluruh jalan hiruk pikuk menandakan malam minggu. Mia duduk diam memandang keluar jendela. Adin mengendarai tanpa pernah melepas rokoknya. Beberapa kali Mia menoleh, hanya untuk memandangi dengan raut wajah yang sulit ditebak. Adin tau Mia memandanginya untuk beberapa saat, mengerti betul bahwa sahabatnya itu sedang berjalan-jalan dengan pikirannya sendiri. Namun baik Mia maupun Adin tidak memulai satu patah kata pun. Mereka berdua seperti orang asing terhadap satu sama lain.

Setelah berputar-putar hampir selama satu jam, mereka berhenti di satu tempat makan berbentuk pendopo dengan konsep angkringan khas Yogyakarta. Keduanya memesan minuman hangat seperti teh dengan berbagai rempah di dalamnya dan masing-masing melahap dua porsi nasi kucing dengan berbagai gorengan hangat. Tempat itu tidak penuh walau sebagian besar tempat duduk terisi. Besarnya ruangan dan tingginya langit-langit menyelamatkan suasana dari kesan ramai dan bising. Cenderung tenang, walau sesekali terdengar tawa dari sana-sini. Mia membersihkan sudut-sudut bibirnya dengan tissue. Adin melipat kedua tangannya. Untuk beberapa detik keduanya saling menatap dan kemudian tertawa. "Aneh rasanya.", ujar Adin memulai perbincangan. Mia tersenyum. "Aku... Rasanya aku nggak kenal kamu lagi Mi." Wajah Adin datar saat mengucapkannya. Ia bahkan tidak melihat ke arah Mia. Hanya menyulut rokoknya perlahan, lalu terbatuk sebentar. Pelan Mia mengambil batang rokok yang terselip di antara kedua jari tangan kanan Adin. "Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?", tanya Mia. Adin memandangi Mia yang mematahkan batang rokok itu menjadi dua bagian dan membuangnya ke dalam asbak berbahan batok kelapa. "Pengen aja. Itu rokokku kenapa digituin?". Mia mengangkat wajahnya. "Pengen aja", jawabnya. Tiba-tiba Adin berdiri dan menatapnya tajam. "Ayo Mi." Kedua mata Mia memancarkan keheranan yang jelas. "Mau kemana Din?". Adin melangkah tanpa menjawab. "Kita pulang sekarang?", tergesa-gesa Mia mengejar langkah Adin.

Seperti sebelumnya, Adin menyetir tanpa bicara. Ia mendiamkan Mia yang entah sudah berapa lama memandanginya. "Din...", panggil Mia lembut. Adin mengacuhkannya. "Adin...", ulang Mia. Adin masih tetap diam. "Adin marah..?", tanya Mia hati-hati. Wajah Adin terlihat mengeras. Garis rahang dan tulang pipinya terkesan kuat walau cahaya samar. "Adin!!", Mia mulai tak tahan. "Adin jawab! Kenapa kamu diam dari tadi? Aku salah apa? Karena rokokmu tadi? Adin jawab Din!", Mia mencondongkan tubuhnya ke arah Adin. "Nanti Mi. Ini aku lagi nyetir." Mia meremas tepi bajunya, "Aku tau! Tapi apa kamu nggak bisa jawab sedikitpun? Adin!!". Adin bersikap tidak peduli, seakan tidak mendengarkan sama sekali. "Adin kamu kenapa sih...", Mia mulai terisak.

Mia masih menunduk sesenggukan saat Adin menghentikan lajunya. Rasanya seperti seabad walau perjalanan hening itu hanya memakan waktu tak kurang dari satu jam. "Ayo turun Mi...", ujarnya lembut, "Ayo...". Mia menoleh keluar jendela. Astaga, pikirnya. Tempat ini. Sudah lama sekali... Adin sudah melangkah beberapa meter di depannya saat ia turun dan menepuk-nepuk celananya sedikit kikuk. Ia mengikuti Adin merunduk melewati palang tanda tertutupnya tempat itu dan menaiki jalan setapak hingga titik tertinggi. Merapi dan Merbabu terlihat megah namun samar, seakan dekat tapi jelas berjarak jauh dari gardu pandang itu. Ribuan bintang terhampar di langit, seakan memantul dari bawah saat meliha ratusan titik cahaya dari lampu rumah-rumah kecil di kejauhan. Mia berdiri di samping Adin dengan sisa air matanya. "Waktu itu kita lagi sinting berdua. Pengen pergi jauh dan kamu baru punya motor. Motor yang kamu sebut Si Tampan.", kata-kata itu mengalir dari bibir Adin sambil menatap jauh menembus kedua gunung berwarna hitam dalam biru malam kelam. "Padahal udah dekat UAS, dan itu semester-semester awal kita ngambil mata kuliah berbeda karena konsentrasi studi yang berbeda. Kita mulai jarang ketemu waktu itu dan punya lingkaran kecil teman yang berbeda. Tapi kita selalu punya cara untuk ketemu. Dan tiap ketemu pasti punya lebih dari cukup cerita untuk ngisi waktu berjam-jam. Kamu selalu ada, aku pun begitu."

Mia menoleh dan mencermati wajah sahabatnya. "Kita naik motor kesini malam-malam. Dingin banget, tapi kita berdua ketawa-ketawa sepanjang jalan. Begitu nyampai sini, kita berdua sama-sama diam. Nggak ngobrol sama sekali. Tapi rasanya tenang aja, damai. Paling nggak menurutku begitu.", sambungnya pelan. "Menurutku juga begitu," sahut Adin, "Kita bisa pergi bareng ke satu tempat tanpa bicara banyak, tapi senang aja karena kita berdua bersama." Mia mengusap pipinya, "Karena itu yang terpenting." Adin menoleh ke arah Mia. "Apa yang salah..?", tanyanya dengan suara yang hampir terdengar seperti berbisik, "Sekarang pun kita udah jarang ketemu. Kamu masih berjuang buat ngelarin kuliahmu, aku kerja sejak nggak mau ngelanjutin kuliah lagi. Tapi rasanya kita udah kehilangan saat-saat itu...". Mia mendesah pelan dan duduk berjongkok. "Kamu tau? Sering aku tiba-tiba ingat, tentang kebiasaanmu yang nggak suka mandi...", katanya pada Adin. "Kamu nggak pernah mau makan lele, katamu kayak buaya.", sambung Adin.

"Kalau disuapin, kamu pasti gigit pinggiran sendoknya.", Mia berucap dengan mata menerawang.
"Kamu gigit-gigit sedotan sampai gepeng.", sahut Adin.
"Baca buku sampai ketiduran dan bukunya pasti ditelungkupin nutupin mulut."
"Kamu melintir-melintir ujung bantalmu yang udah kamu punya sejak umur tiga tahun."
"Suka jalan kaki jauh-jauh sambil hujan-hujanan. Sok romantis tapi ujung-ujungnya pilek."
"Seneng anggrek tapi selalu susah ngerawat versi hidupnya.", kali ini Adin duduk bersila di samping Mia.
"Aku kangen...", mata Mia kembali basah.
"Aku juga...", Adin mulai menangis.
"Kadang-kadang aku pikir, karena kita mulai dewasa dengan prioritas hidup yang beda, jangan-jangan itu berarti kehilangan orang-orang tertentu yang kita sayangi juga sebagai salah satu konsekuensinya."
"Karena kamu pikir mereka juga pastilah mengalami fase yang sama? Dan kamu lah pihak yang mengalah dan harus melepas? Iya, Mi?"
Mia mengangguk pelan. "Mungkin. Aku sendiri bahkan nggak yakin sama pikiranku. Sama dugaanku."
Adin tertawa kecil. "Justru aku yang ngerasa mulai kehilangan kamu. Ngerasa mulai nggak ngerti dan nggak kenal kamu, padahal bisa aja pikiran-pikiranku sendiri yang akhirnya membatasiku untuk tetap mengenal kamu sebagai Mia yang selama ini aku kenal."

"Ini yang pengen aku bicarain tadi di kantin.", ujar Mia, "Tapi aku nggak tau gimana mulainya. Kali aku juga takut dikira melankolis dan berlebihan...".
"...padahal aku udah lama pengen ngomongin hal yang sama. Kirain tadi kamu mau cerita apa gitu yang lain.", potong Adin.
"Padahal ini ya Din? Hehe...".
"Ya, padahal hal penting satu ini...".
Mia menatap Adin dalam-dalam. "Aku lega...".
Adin mengusap bahu Mia, "Aku juga. Ternyata perubahan fase hidup nggak selalu berarti akan kehilangan orang-orang yang kita kasihi."
"Terutama sahabat...".
"Because best friends stay forever. They stay by hearts."
"Iya Din, they don't last. We won't last."
Dalam dinginnya malam di gardu pandang Gunung Merapi dan Merbabu, kedua perempuan itu berpelukan erat, menemukan kembali diri mereka yang sempat hilang beberapa waktu. They both know, whatever happens, they won't last. Never.







*Details on the picture;
"UNTITLED"
drawn by KrisanPutih (Dorothea Diba), 2008
Oil & pastel on Paper

Senin, 01 Maret 2010

Bunga Matahari

“Sekar, itu Mama beliin makan malam ayam bakar di meja, ya…”.

“Aku gak makan ya, Ma. Mau tidur aja. Rasanya kayak masuk angin, ni…”.

“Kamu akhir-akhir ini pulang malem terus, deh. Pasti nyampe rumah hampir jam sembilan gini. Oh iya, besok ngambil rapor jam sepuluh, ya?”

Tidak ada jawaban dari Sekar. Hanya suara tivi dan suara Sekar yang muntah dari kamar mandi disusul suara pintu kamar mandi yang dibuka Mama. Sekar berhenti muntah, lalu melihat kaget Mama dari cermin wastafel.

“Kalau masuk angin, makan dulu sana, baru tidur. Atau kalau lagi gak selera makan, minum teh serai Mama di meja. Masih hangat”.

Mama lalu lari menghampiri telpon yang sudah berdering tiga kali. Dari Tante Nita, teman akrab Mama. Satu tarikan napas panjang dari Sekar. Lega rasanya. Bukan hanya karena sudah muntah, tapi karena tadi Mamanya tidak tanya ini – itu, tidak sempat lihat ada darah yang Sekar muntahkan. Ya, jelas saja muntah darah. Hampir seminggu penuh minum-minum terus. Padahal tidak ada yang sedang dirayakan. Hanya pada waktu itu merayakan datangnya hari Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis. Dan barusan ini merayakan hari Jum’at.

Mama masih asyik ngobrol di telpon sambil cekikikan. Sepertinya sedang merencanakan sesuatu yang asyik. Sekar minum seteguk teh serai Mama lalu lekas-lekas masuk kamar, putar radio, tarik selimut, lalu coba pejamkan mata merahnya itu. Tapi masih susah tidur, memikirkan terus pengalaman pertama muntah darahnya. Maklum, baru jadi peminum pemula yang sedang rajin berlatih. Bergidik juga jadinya Sekar. Jadi bertanya terus dalam hati, kenapa bisa begitu, ya ? Pikirannya pun terus melayang sambil matanya mengatup perlahan.

Hampir jam 3 pagi. Suara Tante Nita di luar buat Sekar terbangun.

“Gila ! Dah lama banget gak gila-gilaan gini! Kamu merhatiin tingkah cowok yang baju ijo tadi? Pasti dia gak nyangka banget kalo anak kita lagi pada tidur nyenyak di rumah”.

Tidak ada jawaban dari Mama. Hanya suara keran wastafel yang dibuka, mengguyur muntahan Mama, tidak jauh beda seperti Sekar tadi. Mama nyanyi-nyanyi gak jelas. Sekar hanya menguping sambil masih ngantuk. Ternyata Mamanya habis pulang dugem, minum sampai mabuk.


* * *

Sabtu siang rumah sepi. Hanya ada Mama yang merokok diam-diam di kamar mandi. Masih terus memandangi rapor Sekar yang banyak merahnya. Mama berpikir, jangan-jangan tinta hitam gurunya Sekar habis, jadi pakai tinta merah dulu? Atau jangan-jangan memang sekarang memang memakai tinta merah untuk mengisi nilai rapor? Mama sudah kehabisan imajinasi untuk mengelabui perasaannya sendiri. Mama ganti baju, lalu mengeluarkan VW Convertiblenya. Ingin ke pantai rasanya. Sendirian mungkin asik juga. Baru beberapa meter dari rumah, VW direm. Mama panggil Sekar yang sedang merokok sendiri di warung burjo. Kontan Sekar kaget dan membuang rokoknya. Sekar disuruh naik ke mobil. Saking gugupnya, Sekar naik sampai lupa bayar. Sepanjang perjalanan mereka banyak diam. Hanya Jammie Cullum yang All at Sea diputar, mengatakan sedikit isi hati Mama.

Sekar memulai pembicaraan dengan kaku dan gugupnya masih belum juga surut. “Aku emang tadi ngerokok, Ma. Tapi cuman sebatang, kok. Nilaiku juga banyak merahnya. Aku tau aku kebanyakan main. Mama berhak nge…..”, kalimat Sekar karena tiba-tiba juga Mama banting setir ke kiri sambil ngerem mendadak.

“Gak, papa kok. Sekarang kita buang sumpek ajah ke pantai”, Mama mengeluarkan rokoknya lalu disulut.

“Ambil aja. Rokokmu juga sama, kan?”

Sekar masih tegang, gugup, ditambah kaget dan bingung mau bilang apalagi. Mama memandang Sekar, memberi isyarat untuk mengambil rokoknya. Sekar ambil satu batang. Tidak disulut. Hanya diputar-putar di jarinya sampai tiba di pantai.

Mereka hanya banyak diam. Berjalan perlahan menuju batu karang yang besar sambil melelehkan kepenatan, kesumpekan, lalu di bawa ombak yang datang dan dibuang jauh ke tengah lautan sana. Batu karang besar itu favorit Papa dan Mama. Mereka duduk memandangi laut. Merokok. Tidak ada lagi yang sembunyi-sembunyi.

“Mama ngerti perasaan kamu. Kenapa nilai rapor banyak merahnya. Kenapa kamu sering pulang malam. Kenapa kemarin kamu sampai muntah-muntah begitu”.

Sekar hanya bisa diam. Padahal dia juga ingin sekali tanya, kenapa semalam Mama minum sampai mabuk begitu. Tapi Sekar hanya tetap diam. Merokok lagi bersama Mama dan suara ombak. Mereka berbicara tanpa saling menatap

“Sore ini kita ngobrol sebagai teman saja, ya. Mama juga pengen berbagi sama kamu. Sebenarnya kita sama-sama merasa kesepian. Walaupun Mama punya kamu. Kamu punya Mama. Tapi tetap saja, kita sama-sama kangen kehangatan Papa”, Mama berhenti sejenak, menyalakan rokoknya lagi.

“Tapi kita juga emang harus nyoba ngertiin. Selain kita, Papa juga punya Tante Mirta, Tante Lina, Danu, Satrio, Mega, yang masih bayi. Memang kita sekarang lagi dalam keadaan yang kurang menyenangkan, ga kita harapkan. Tapi kita harus berjuang dalam keadaan ini , bertahan untuk terus maju. Bukan berteriak menyalahkan keadaan. Berteriak mencaci sampai puas. Padahal tidak akan ada puasnya. Mama pengen bisa mencukupi figur Papa juga untuk kamu. Dan Mama terus mencoba untuk itu. Mama minta pengertian kamu ya?”

Mereka kembali diam. Matahari sudah mulai turun untuk tenggelam.

“Ma, namaku Sekar. Artinya bunga. Aku Bunga Puteri Malu yang berwarna ungu. Tiap hari hanya berwarna ungu. Lalu Bunga Puteri Malu selalu memandangi Matahari, mengaguminya. Matahari begitu hebat dan Si Bunga Puteri malu merasakan dia begitu kuat. Benar-benar kagum Si Bunga Puteri Malu itu, sampai-sampai dia berubah bentuk perlahan, hingga menjadi berbentuk hampir menyerupai matahari. Lalu disebutlah ia Bunga Matahari. Dan Matahari itu adalah Mama”.

Mama tersenyum dalam haru. Di pantai itu ada mereka bertiga sekarang. Matahari yang sedang turun untuk terbenam, Mama sang Mataharinya Sekar, dan Sekar - Si Bunga Matahari. Sekar duduk mendekat Mama, memeluk lengan Mama dan menikmati hangatnya ketiak Mama. Mama membuang rokoknya yang masih panjang. Mereka berdua hanya diam menikmati kedalaman rasa dan makna dari perjalanan hari-hari mereka selama ini.



~EiRa~

Sights by Us

"UNTITLED"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
Pastel & pen on paper




"LIFE"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
Pastel, pencil & pen on paper





"UNTITLED"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
based on a photograph (of Riany Setyandriani & Sesilia Pramudita) with the same title by Dorothea Diba
Pencil on paper




"AKU"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2007
Oil on canvas




"APA ITU"
~Eira Prameswari~, 2010
Color pencil on paper





"KEBIASAAN"
~Eira Prameswari~, 2010
Pen & color pencil on paper





"THE QUESTION ABOUT US"
~Eira Prameswari~, 2006
Poster paint, sticker, hand of clock on ivory paper

Alanis

So do tell me please, Alanis…
What is it that rips your lips
Should you be in freeze
Floating along with breeze
You were the charm
Who did you this harm?
Speak, Alanis, speak…
Long for your sound to hear, not any sight I seek
How can you be so melancholic
It’s not a drama, no need to hide
Though cruel is life, you still have pride
Look at me, Alanis, look m in the eye…
You cross your legs so tight
Cuddling on your own without a single light
I heard you left for a chase of life
Now here you are your soul so shy
Are those tears, Alanis, down your fair cheeks?
Those bright eyes dimmed
That gentle smile feared
Do me a favor, be kind to tell
What turned your life to such a hell
Don’t, Alanis, don’t…
Put down that knife, do shut that grin
What’s in mind, death ain’t an end
Surrender isn’t the word, fight is the theme
What you’ve faced is the code, you’re stronger than you seem
Now I know, Alanis, do cry no more…
You’re not alone, there are a lot
No use of moan, let’s do a bold
They might forget who bring them life
They would regret we’re still alive
It’s you and I, Alanis, and a lot more…
Wipe off the tears, for tears don’t cheer
There’ll be no fears, the light is near
It’s you and I, Alanis, and a lot more…
We’re called women, we deserved more.


.Dorothea Diba.
July 24, 2009





*Details on the picture;
"ALANIS"
drawn by KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
Pastel on Paper

Some Pictures from Bejana

These are some pictures from Bejana, taken and edited by Eira Prameswari

DEVIL'S SIGHT



ENDAS TERI




YULIET LAN YULIET




RABBITO




WAVY-MINDED
(talent : Agatta Stevia)



SUNSET BETWEEN US