Rabu, 10 Februari 2010

Kekerasan dalam Hubungan Lesbian

Sewaktu kuliah semester 2 tahun 2006, saya mulai terbuka mengenai identitas dan orientasi seks saya sebagai lesbian. Mulailah saya bergabung dengan teman-teman lesbian lainnya. Dari situ saya mengenal adanya label butch, femme dan androgini. Yang saya amati, seorang butch akan berperan dan berpenampilan mengidentifikasi seperti laki-laki. Untuk femme, peran dan penampilannya seperti perempuan layaknya pasangan heteroseks lainnya. Androgini memiliki penampilan seperti perempuan tomboy. Hanya tomboy. Yang membingungkan, waktu itu sempat mendengar ada teman bertanya, “Kamu andro ke femme atau ke butch ?” Ternyata masih dibagi lagi istilah peran untuk label sepemahaman teman-teman waktu itu.

Label yang sebagai indentitas ini awalnya (yang saya tahu) hanya untuk pengkategorian saja supaya tidak keliru persepsi terhadap identitas yang disandang oleh teman-teman lesbian. Label terkadang diberikan oleh diri sendiri atau bisa juga diberikan oleh teman-teman yang lain. Pernah waktu ditanya seorang teman, “Lu tu, A, B apa F?” Saya menjawab tidak tahu waktu itu. Akhirnya mereka menempelkan label butch untuk saya. “Kalo dari bentukannya, Lu tu B deh”. Okay, akhirnya saya adalah butch sesuai apa kata teman-teman saya. Dari label yang sudah saya sandang, berarti selayaknya saya harus melengkapi label butch saya tersebut seperti kebanyakan butch lain mulai dari penampilan, pembawaan, sampai ke pemikiran. Tapi saya juga memasak, me-repotting tanaman di rumah, membersihkan rumah, terkadang bersolek seperti perempuan lain (walau tidak begitu feminine), dan tanggapan yang saya dapat adalah : “Lu feminin banget ya sebenernya”, “Lu tu bukan butch tapi bencong”. Semua memang disampaikan dengan bercanda, tapi dapat terlihat konstruksi pikiran seperti apa yang sedang terbangun. Pernah juga saya ngambek oleh hal yang dianggap sepele seorang teman butch (sepertinya tidak layak dipermasalahkan oleh sorang butch).Tanggapan yang muncul adalah, “Lu cewek banget sih. Gitu aja marah”. Hey, come on, ucapan dari pikiran yang sangat merendahkan sekali. Saya memang perempuan dan yang berucap tadi itu juga sejatinya sedang berkelamin perempuan. Dimana kelirunya seorang butch yang melakukan hal-hal yang saya lakukan tadi? Apa itu melanggar aturan dari label tersebut? Siapa yang membuatnya? Teman-teman lelaki heteroseks yang saya kenal juga bisa memasak, me-repotting tanaman, membersihkan rumah, dan bisa ngambek. Semua itu boleh dan tidak ada yang melarang. Hanya pikiran-pikiran yang terkonstruksi dengan peran sosial dari pilihan label dari itu sendiri yang membatasinya. Mulai dari itu saya semakin tidak nyaman dengan label yang saya sandang. Akhirnya ketika ditanya saya selalu menjawab, “Saya perempuan yang menyukai perempuan juga. Ga pake label-labelan”. Dari awal memang saya tidak nyaman, hanya mengikuti pemikiran di antara teman-teman saja. Setelah pilihan akhir saya tadi, saya menjadi lebih lega dan leluasa.


Sampai hari ini saya terus menjalani pilihan hidup saya sebagai lesbian. Sesuai pesan dari seorang teman agar saya selalu menghargai orang lain agar saya juga dihargai. Termasuk menghargai diri saya terlebih dahulu dengan tidak mengekslusifkan diri sebagai lesbian. Ketika saya minta untuk dihargai dan disetarakan dengan teman-teman heteroseks, saya berpikir untuk duduk sama rata sebagai manusia saja. Karena saya pikir pemberian dan penggunaan label dalam relasi cinta lesbian malah justru mengkotak-kotakkan dan membatasi dalam banyak hal. Belum lagi identitas tersebut sepertinya harus dipatuhi. Bila tidak, bisa-bisa mendapat sanksi celotehan seperti yang saya alami tadi. Sugesti yang mengungkung. Menurut saya sebetulnya tidak ada yang salah dengan pemilihan identifikasi tersebut. Yang saya lihat semua itu adalah panggilan dari dalam jiwa yang lalu dipenuhi oleh raga. Untuk pengkategorian juga bisa. Setiap orang dalam hubungan sosial membutuhkan identitas agar orang lain tidak salah memperlakukan individu tersebut. Tapi pembedaan tersebut bukan untuk dibeda-bedakan atau bahkan didiskriminasi. Perempuan dalam lingkup heteroseks saja terus berjuang untuk emansipasi selama ini. Hal ini terjadi karena adanya konstruksi yang melenceng dari sistem patriarki. Penggunaan wewenang atas identitas laki-laki yang menjadi menurunkan derajat dan hak perempuan karena laki-laki dikonstruksi selalu berada di atas perempuan dalam banyak hal. Hal tersebut cenderung menjadi bentuk kekerasan psikis bahkan fisik. Saya pikir kekerasan-kekerasan tersebut hanya terjadi di dalam relasi heteroseks saja. Tapi saya pernah melihat hal tersebut terjadi dalam relasi lesbian. Mengagetkan dan geram.

Kejadian yang pernah saya tahu ini kebetulan relasi antara butch dan femme. Mereka tinggal serumah layaknya laki-laki dan perempuan berumah tangga. Peran yang ada di dalam situ layaknya suami dan istri. Si suami bekerja si istri lebih banyak mengurusi urusan rumah. Butch lebih memegang kendali dalam banyak keputusan dan ujung-ujungnya menjadi posesif terhadap femme karena merasa butch (sebut saja Rere) adalah kepala keluarga dan femme sudah selayaknya nurut. Kekerasan psikis yang dialami femme (sebut saja Nana) diikuti dengan kekerasan fisik karena Nana tidak menuruti aturan-aturan Rere. Rere mulai memukul, menampar, bahkan pernah melakukan hal-hal lebih dari itu yang bisa membuat nyawa Nana melayang begitu saja bila diteruskan. Nana dengan segenap cintanya terus bertahan dan Rere justru semakin menjadi mengulang hal tersebut. Ternyata masa lalu dibalik perilaku Rere tersebut, Rere pernah mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya sewaktu kecil sehingga ketika sudah besar Rere beranggapan (dalam alam bawah sadarnya) memukul adalah hal yang lumrah dilakukan ketika marah. Walau di alam sadar Rere tahu itu merupakan hal yang salah tapi mencoba menari pembenaran bahwa Rere memiliki trauma tersebut. Melihat masa lalu Nana, ternyata dia memilih menjalin hubungan dengan perempuan karena memiliki trauma yang menyebabkan dirinya tidak lagi percaya dengan laki-laki. Salah satu alasannya adalah masalah kekerasan psikis dan fisik. Nana mengharapkan pilihannya kali ini dapat memberikan ketenangan lebih karena mencari sosok yang lebih lembut dan lebih mengerti dari sosok laki-laki yang pernah dia temui. Tapi apa yang dia dapat di sini? Seperti memutar kembali film kelam masa lalunya saja. Tidak ada kemajuan yang signifikan dalam kisah Rere dan Nana. Si butch menyakiti, si femme tidak melakukan perlawanan yang bisa lebih memerdekakan dirinya karena pola pikir yang melekat dari konstruksi label yang dianut tersebut. Walau mereka tahu semua itu hal yang salah.

Betapa mirisnya saya melihat mereka waktu itu. Kalaulah mereka berangkat dari trauma untuk memilih menjadi lesbian, jangan sampai hal tersebut diulang lagi. Sama saja menurunkan sistem patriarki (apakah istilah ini tepat digunakan di sini?) yang justru jadi mendiskriminasi perempuan (lagi).





*Picture drawn by: KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
"UNTITLED"
Pastel on Paper

9 komentar:

  1. kalau memang jalan yang sudah ditempuh dan diputuskan berdasarkan semua sudut pandang manusia,hanya ada dua pilihan yaitu pro dan kontra.
    tergantung dari cara pandang mereka yang pro, lesbian adalah sesuatu yang wajar bagi mereka, karena mungkin mereka merasakan apa yang sudah "rere" dan "nana" alami, atau mungkin ada penyebab lain, akan tetapi sebagian besar karena dua hal yang sudah mereka alami sebagai background alasan yang menjadikan mereka mengambil keputusan untuk menjalani hidup sebagai lesbian sejati tanpa perduli dengan anggapan orang lain.mungkin juga karena merka mengambil keputusan menjadi lesbian adalah karena mereka merasa hidup yang mereka alami selama ini akan lebih baik tanpa mahkluk adam yang selalu menjadi "diktaktor dunia" yang selalu merasa lebih tinggi derajatnya daripada perempuan.dalam segala hal.semacam pemberontakan terhadap laki-laki.
    akan tetapi sebagai pihak kontra, lesbian maupun gay adalah makhluk-makhluk yang tidak sepantasnya ada di dunia, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa gender ke tiga ini juga telah ada sejak jaman adam dan hawa terdahulu.
    mereka menilai bahwa mereka (lesbian and gay) menjadi "momok" masyarakat.dan hanya memandang mereka sebelah mata.
    sedangkan saya pribadi menilai bahwa Lesbian dan Gay adalah orang-orang yang pemberani dan sangat menjunjung kejujuran, karena mereka adalah orang yang tidak tumbuh dalam kemunafikan diri sendiri karena mereka mengakui bahwa mereka berbeda dan istimewa.
    merka mampu menjalani hidup tanpa harus bergantung pada lain jenis nya, tanpa malu dan rendah diri dengan cibiran orang lain yang kontra.
    karena mereka berani mengambil keputusan hidup yang mereka jalani apapun resikonya.
    walaupun, mungkin jalan sebelum mereka menjalani jalan yang mereka pilih sekarang adalah jalan yang berliku, banyak lubang, dan banyak kerikil tajam.
    salut buat meraka.
    yang jelas apapun bentuk, apapun jalan yang ditempuh, apapun pilihan yang dipilih, bagaimana selanjutnya semuanya tetaplah ingat pada Seseorang yang selalu menanti suatu saat nanti,Tuhan Yang Maha Esa......

    BalasHapus
  2. mungkin yang harus digaris bawahi adalah tulisan "label butch, femme dan androgini". menurut ilmu psikologi yang ada, seperti yang diutarakan oleh feminis radikal‐libertarian Gayle Rubin, system
    seks/gender adalah “suatu rangkaian pengaturan, yang digunakan oleh
    masyarakat untuk mentrasformasi seksualitas biologis menjadi produk
    kegiatan manusia” dan dalam tabel gender sendiri, seksualitas terdiri dari homoseksual dan heteroseksual. sedangkan dalam gender terdiri dari maskulin, feminin dan androgini. artinya androgine disini berarti kelompok homoseksual yang terdiri dari androgin laki-laki (gay) dan androgin perempuan (lesbian). jadi menurutku label androgin itu kurang tepat jika di berikan untuk satu seksualitas saja yang biasanya dipakai oleh kalangan lesbian yang berarti gak femme dan gak juga butch...

    untuk lebih jelas baca langsung di Jurnal Scriptura karya felicia goenawan. (Media, Teknologi Dan Masyarakat: Gender & Website)

    BalasHapus
  3. untuk ragil / Hesti:

    Hola...ini Hesti Yuliastika kah...?
    Makasih untuk berbagi pikirannya buat kita semua di BEJANA.

    Dari yang saya tau ternyata ada berbagai macam alasan sebagai latar belakang setiap orang memilih menjadi homoseksual. Waktu itu sempet sharing bareng sama temen dari PLU (People Like Us) dan PKBI. Ada yang berdasarkan trauma atau memang "given" (begitu mereka menjelaskan). Given disini dalam artian memang itu pemberian dari Yang Mulia. Waktu itu diceritain juga bahwa tidak ada orang yang heteroseksual murni dan begitu juga sebaliknya. Setiap orang memiliki dua sisi kecenderungan tersebut, hanya kadarnya saja yang berbeda. Sudah sejak lama juga homoseksual ini dikeluarkan dari penyakit psikologis, karena homoseksual bukanlah penyakit (karena tidak menimbulkan efek samping ke fisik toh..).

    Ternyata yang menjadi penyakit psikis adalah ketika seseorang menyadari dirinya memiliki kecenderungan sebagai homoseksual namun tidak dapat menerima dirinya sendiri sehingga mengalami efek samping depresi (kebetulan saya agak lupa istilahnya. Kalau ada yang tau, tolong bantu ya..). Menurutku, kecenderungan homoseksual di dalam diri itu akan tetap melekat. Hanya saja pada akhirnya ketika bicara masalah pilihan untuk meneruskan hari-hari dalam lingkup sosial sebagai homoseksual ataukah heteresoksual itu kembali kepada keadaan masing-masing yang membatasi atau meleluasakan pilihan tersebut, untuk menjadi diri sendiri atau menjadi seperti yang lingkungan haruskan.

    Mengakui ketertarikan terhadap sejenis terkadang tidak mudah untuk beberapa orang. Apa lagi untuk terbuka ke orang lain ketika sekeliling kita adalah mereka yang kontra. Mulai dari menguatkan mental, bagaimana menempatkan diri, bagaimana bersikap dan menyiapkan sekian penjelasan dari sekian pertanyaan. Tapi itu lebih melegakan -seperti yang saya alami- apalagi bisa diterima dengan senang hati oleh lingkungan ^^.

    Untuk relasi homoseksual itu sendiri dengan Pemilik Energi Terbesar yang Merajai Alam Semesta Ini, kamu setujukah kalau itu dikembalikan ke personal masing-masing? Walaupun beberapa orang mencibir mereka tidak pantas ada karena tidak sesuai dengan ajaran agama, tapi bagaimanapun faktanya ini memang ada. Asakanl mereka yang masih minoritas dan mendapatkan diskriminasi di masyarakat ini tetap berjalan dalam kebaikan dan berbai untuk sesama, karena itulah sebagian esensi dari kehidupan sebagai manusia dan kembali lagi semuanya adalah sebagai manusia ^^

    Tidak diterima oleh sendiri itu rasanya tidak enak. Tidak diterima oleh seseorang saja sakit, apalagi tidak diterima oleh sekian orang hanya karena bersikap apa adanya tentang pilihannya..

    Makasih, Hest sharing barennya di BEJANA .. ^^

    BalasHapus
  4. Makasih Indra infonya.
    Oiya, kalo untuk Gay, yang bisa berperan ganda (dalam tataran hubungan seksual) itu versatile bukan ya? Sama seperti androgini yang digunakan dalam relasi lesbian (di indonesia). Aku udah buka link bwe-nya ^^

    BalasHapus
  5. Yang terkasih rekan-rekan semua,
    Setelah menyimak semuanya,saya memiliki catatan sbb:
    1. Bersyukur, bahwasanya apapun yang telah terjadi dlm realitas yg harus dihadapi dan dijalani, atau yang dikatakan dg.memilih tidak segera diterjemahkan dg. : Menyalahkan Sang Pencipta dlm segala subtansi yg.paling subtil (lembut/abstrak)pun.
    2. Untuk mampu mencapai hal itu, tentu hal yg.dpt. dilakukan adalah bermetode: Mengalah - Meng - ALLAh;mengikuti petunjuk sedalam-dalamnya tentang Kuasa dan Tata Laksana yang digariskan oleh KuasaNya.
    3. Hal itu termasuk dlm.: Proses pertimbangan memilih:Benarkah kita sudah obyektif dg.variable yg.subtil tatkala menterjemahkan tentang Ketentuan Allah. Misalnya, mengenai fakta atau sebuah fenomena anomali yg. faktanya sudah ada sejak dulu kala.Dengan kalimat:"Ya, demikian toh bagaimanapun fakta realitas itu ada,fenomena itu nyatanya juga berlangsung." Kemudian atas dasar akumulasi pemikiran emphiris itu,kita begitu mudahnya segera menjustice:bahwa "Ya sudah Tuhan Telah Berkehendak".Benarkah ini pemikiran obyektif yang dilandasi oleh Pengagungan atas KehendakNYA?Misalnya lagi:Orang yang mudah membunuh saudaranya,lantas dengan ringan mengatakan.Ya sudah itu sudah garis ketentuanNYa.Pernyataan itu memang benar,semua kejadian adalah KuasaNYa.Akan tetapi sungguh kian dhaif (dungu)kita bila menterjemahkan demikian sebagai yang sudah ditentukan selaku pemimpin/penjaga/khalifah kehidupan jagad semesta. Tuhan mendewasakan ummatNya dg.segala kebaikan dan keburukan,dg. segala kesulitan dan kemudahan dg.segala prenik-prenik yang kadang gampang nyata bisa dieja,tapi juga seringkali kita musti berjuang untuk menterjemahkan agar kita menjadi yang selamat! Dg. segala kedamaian yang union serta dg. berbagai konflik yg. terpecah dalam jiwa dan tubuh kita.Semua insan mengalami konflik tetapi semua orang juga diberi metode dan penguasaan mengendalikan untuk meluruskan kepada sesuatu yang paralel dg. ritme yang menyatu dg.selaras. Jadi sejauh mana kita telah mampu membaca dg.tajam Kemauan Tuhan dan memahami konflik yang terjadi dalam diri kita.

    BalasHapus
  6. Merespon komentar dari Indra mengenai pemahaman Androgyny. Saya dipinjami Ensiklopedia Fiminisme milik Maggie Humm dengan judul asli Dictionary of Feminist Theoris. (Terima kasih Diba untuk pinjaman kamusnya)

    Berikut ini kami tuliskan pemahaman yang ada mengenai adnrogyny seperti tertulis di buku (halaman 19-20):

    ANDROGYNY
    Istilah Yunani dari kata andro (laki-laki) dan gyn(prempuan) yang berarti suatu perpaduan psikologis dan fisik atas nilai-nilai feminin dan maskulin. Ia dibedakan dengan hermaproditsme, yang pada pokoknya merupakan kondisi fisik. Androgini mempunyai sejarah panjang. Banyak agama Indo-Eropa mengkombinasikan laki-laki dan perempuan dalam Primal Androgyne.

    Teori feminis mengenai androgini yang pertama mendeskripsikan suatu model cangkokan. Misalnya Elizabeth Cady Stanton dalam The Roman's Bible (1895-8) mendeskripsikan Makhluk surga itu androgin. Virgina Woolf mendefinisikan androgyny dalam A Room of One's Own sebagai sebuah spektrum di mana manusia bisa memilih tempat-tempat mereka tanpa memperhitungkan sejarah atau tradisi. Feminisme gelombang kedua menyatakan bahwa androgini bisa menawarkan personalitas mono-gender. Carolyn Heilburn mendeskripsikan bagaimana dalam literature dan mitologi Barat, ada tradisi yang bertahan lama mengenai androgini yang bisa ditarik untuk menggantikan dualisme kontemporer. Lihat Heilburn (1973).

    Dalam psikologis feminis, Sandra Bern menggunakan sebuah tes,Bern Sex Role Inventory, yang menunjukkan bahwa orang yang paling pandai sebagian besar adalah androgin. Lihat Bern (1974).

    Banyak Filsuf feminis mengklaim bahwa person androgin itu menyeluruh dan mempunyai kapasitas untuk mengalami berbagai emosi manusia. Lihat Trebilcor (1977). Andrea Dworkin menggunakan konsep androgin untuk meningkatkan transformasi fisik biologi manusia; "kita ini jelas, spesies meulti-seks... di mana elemen-elemen yang disebut laki-laki dan perempuan itu tidak berbeda" (Dworkin, 1981, hal 183). Inilah tujuan yang disepakati oleh penulis Perancis, Monique Wittig. Julia Kristeva menyatakan hal yang bertentangan dengan kekuatan destruktif dari setiap keyakinan metafisik dalam identitas gender yang sudah tetap. Lihat Moi (1985).

    Feminis lainnya menyatakan bahwa androgini merupakan konsep statis karena mengabaikan tema kekuasaan yang bisa meningkatkan transformasi psikologis seseorang melalui perubahan material. Lihat J.B. Miller (1976).

    Feminis radikal, seperti Mary Daly dan Adrienne Rich menyatakan bahwa meskipun androgini ini adalah idela moral yang memadai, ia akan sama sekali tidak tepat sebagai tujuan politik karena ia gagal menyebutkan perbedaan. Gagasan androgini ini menghilangkan kebutuhan untuk memperjuangkan pemisahan. Lihat Raymond (1975).

    Semoga ini bisa menjadi tambahan referensi untuk BEJANA dan teman-teman semua, juga menjadi acuan untuk menggunakan istilah androgyny itu sendiri. Terima kasih.

    BalasHapus
  7. untuk memahami verstile dalam hubungan homoseksualitas umumnya yang dilakukan dalam hubungan gay, itu hanya sebatas masalah peranan dalam seks semata. mungkin harus ditegaskan disini adalah bagaimana kaum gay dan lesbian itu tidak hanya di cap sebagai penikmat nafsu semata. seperti juga halnya yang telah di tulis dalam buku "Memberi suara pada yang bisu" karya Dede Oetomo yakni hubungan yang selalu menjunjung tinggi pelabelan femme, butch, andro, top, bottom atau verstile merupakan sesuatu yang dirasa begitu kaku dan lebih menjunjung nilai-nilai partiarkis atau lebih mudahnya disebut dengan peniruan hubungan heteroseksual. padahal hubungan gay dan lesbian sebenarnya hubungan gay dan lesbian sendiri lebih fleksibel dalam mencari dan penentukan posisi yang paling sesuai.

    BalasHapus
  8. Membahas tentang homoseksualitas tidak pernah habis jika kita tidak dapat berjalan selaras dengan pengetahuan yang cukup. Misalnya saja memberikan suatu pendapat bahwa kaum Gay atau pun Lesbian itu adalah orang-orang yang sakit, menyimpang dari tatanan masyarakat. Menurut saya yang harus diluruskan dari pendapat Bapak Widyalokapala yang bahwasanya pada pernyataan dari no 1 hingga no 4 lebih cenderung ngambang dan akan memberikan stigma baru kepada Kaum Gay dan lesbian. menurut Dede Oetomo pada bukunya Memberi Suara pada yang Bisu, terjadinya cinta sesama jenis (homofilia) didefinisikan sebagai gejala dan perilaku yang ditandai oleh ketertarikan secara emosional dan seksualitas pada seseorang terhadap orang lain yang sama jenis kelaminnya. walaupun sudah banyak orang yang menerima adanya homofilia dalam diri manusia yang selalu dilontarkan oleh kebanyakan khalayak adalah homofilia ialah gejala yang melawan kodrat alami (seperti yang dijelaskan oleh bapak Widyalokapala) misalnya saja dalam penjelasan point 3 yang memiliki kecenderungan dualisme. pada hakikatnya homoseksual bukanlah suatu yang berasal dari kromosom ataukah hormon. dari beberapa penelitian telah dijelaskan bahwa homoseksualitas bukanlah dari kromosom, gen, ataukah hormon. oleh karena itu para psikiater Indonesia mengeluarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) II tahun 1983 yang menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah suatu penyakit dan tidak perlu untuk disembuhkan. yang harus disembuhkan disini yaitu orang-orang homoseks ego-distonik (dimana para penyandangnya mengalami gangguan jiwa.)

    Semoga komentar ini dapat menjadi pengetahuan tambahan bagi teman-teman khususnya bapak Widyalokapala untuk dapat sedikit terbuka tentang adanya homoseksual dan tidak kaku atas pendapatnya.

    BalasHapus
  9. Terima kasih untuk Indra bisa melengkapi isi dari diskusi ini. Banyak perspektif untuk memandang mengenai homoseks ini, dari segi agama yang juga berhubungan dengan norma sosial dan juga dari sisi psikologi manusia.
    .
    Apapun dan bagamainapun buah pikir dari berbagai perspektif yang memunculkan pro dan kontra semoga kita semua dapat kembali kepada konsep untuk saling menghargai pilihan pribadi sebagai manusia.
    .
    Salam hangat, BEJANA.

    BalasHapus