Rabu, 10 Februari 2010

Some Pictures from Bejana

These are some pictures of children, taken and edited by Eira Prameswari



-NYORE-





-REFLEKSI-

Kekerasan dalam Hubungan Lesbian

Sewaktu kuliah semester 2 tahun 2006, saya mulai terbuka mengenai identitas dan orientasi seks saya sebagai lesbian. Mulailah saya bergabung dengan teman-teman lesbian lainnya. Dari situ saya mengenal adanya label butch, femme dan androgini. Yang saya amati, seorang butch akan berperan dan berpenampilan mengidentifikasi seperti laki-laki. Untuk femme, peran dan penampilannya seperti perempuan layaknya pasangan heteroseks lainnya. Androgini memiliki penampilan seperti perempuan tomboy. Hanya tomboy. Yang membingungkan, waktu itu sempat mendengar ada teman bertanya, “Kamu andro ke femme atau ke butch ?” Ternyata masih dibagi lagi istilah peran untuk label sepemahaman teman-teman waktu itu.

Label yang sebagai indentitas ini awalnya (yang saya tahu) hanya untuk pengkategorian saja supaya tidak keliru persepsi terhadap identitas yang disandang oleh teman-teman lesbian. Label terkadang diberikan oleh diri sendiri atau bisa juga diberikan oleh teman-teman yang lain. Pernah waktu ditanya seorang teman, “Lu tu, A, B apa F?” Saya menjawab tidak tahu waktu itu. Akhirnya mereka menempelkan label butch untuk saya. “Kalo dari bentukannya, Lu tu B deh”. Okay, akhirnya saya adalah butch sesuai apa kata teman-teman saya. Dari label yang sudah saya sandang, berarti selayaknya saya harus melengkapi label butch saya tersebut seperti kebanyakan butch lain mulai dari penampilan, pembawaan, sampai ke pemikiran. Tapi saya juga memasak, me-repotting tanaman di rumah, membersihkan rumah, terkadang bersolek seperti perempuan lain (walau tidak begitu feminine), dan tanggapan yang saya dapat adalah : “Lu feminin banget ya sebenernya”, “Lu tu bukan butch tapi bencong”. Semua memang disampaikan dengan bercanda, tapi dapat terlihat konstruksi pikiran seperti apa yang sedang terbangun. Pernah juga saya ngambek oleh hal yang dianggap sepele seorang teman butch (sepertinya tidak layak dipermasalahkan oleh sorang butch).Tanggapan yang muncul adalah, “Lu cewek banget sih. Gitu aja marah”. Hey, come on, ucapan dari pikiran yang sangat merendahkan sekali. Saya memang perempuan dan yang berucap tadi itu juga sejatinya sedang berkelamin perempuan. Dimana kelirunya seorang butch yang melakukan hal-hal yang saya lakukan tadi? Apa itu melanggar aturan dari label tersebut? Siapa yang membuatnya? Teman-teman lelaki heteroseks yang saya kenal juga bisa memasak, me-repotting tanaman, membersihkan rumah, dan bisa ngambek. Semua itu boleh dan tidak ada yang melarang. Hanya pikiran-pikiran yang terkonstruksi dengan peran sosial dari pilihan label dari itu sendiri yang membatasinya. Mulai dari itu saya semakin tidak nyaman dengan label yang saya sandang. Akhirnya ketika ditanya saya selalu menjawab, “Saya perempuan yang menyukai perempuan juga. Ga pake label-labelan”. Dari awal memang saya tidak nyaman, hanya mengikuti pemikiran di antara teman-teman saja. Setelah pilihan akhir saya tadi, saya menjadi lebih lega dan leluasa.


Sampai hari ini saya terus menjalani pilihan hidup saya sebagai lesbian. Sesuai pesan dari seorang teman agar saya selalu menghargai orang lain agar saya juga dihargai. Termasuk menghargai diri saya terlebih dahulu dengan tidak mengekslusifkan diri sebagai lesbian. Ketika saya minta untuk dihargai dan disetarakan dengan teman-teman heteroseks, saya berpikir untuk duduk sama rata sebagai manusia saja. Karena saya pikir pemberian dan penggunaan label dalam relasi cinta lesbian malah justru mengkotak-kotakkan dan membatasi dalam banyak hal. Belum lagi identitas tersebut sepertinya harus dipatuhi. Bila tidak, bisa-bisa mendapat sanksi celotehan seperti yang saya alami tadi. Sugesti yang mengungkung. Menurut saya sebetulnya tidak ada yang salah dengan pemilihan identifikasi tersebut. Yang saya lihat semua itu adalah panggilan dari dalam jiwa yang lalu dipenuhi oleh raga. Untuk pengkategorian juga bisa. Setiap orang dalam hubungan sosial membutuhkan identitas agar orang lain tidak salah memperlakukan individu tersebut. Tapi pembedaan tersebut bukan untuk dibeda-bedakan atau bahkan didiskriminasi. Perempuan dalam lingkup heteroseks saja terus berjuang untuk emansipasi selama ini. Hal ini terjadi karena adanya konstruksi yang melenceng dari sistem patriarki. Penggunaan wewenang atas identitas laki-laki yang menjadi menurunkan derajat dan hak perempuan karena laki-laki dikonstruksi selalu berada di atas perempuan dalam banyak hal. Hal tersebut cenderung menjadi bentuk kekerasan psikis bahkan fisik. Saya pikir kekerasan-kekerasan tersebut hanya terjadi di dalam relasi heteroseks saja. Tapi saya pernah melihat hal tersebut terjadi dalam relasi lesbian. Mengagetkan dan geram.

Kejadian yang pernah saya tahu ini kebetulan relasi antara butch dan femme. Mereka tinggal serumah layaknya laki-laki dan perempuan berumah tangga. Peran yang ada di dalam situ layaknya suami dan istri. Si suami bekerja si istri lebih banyak mengurusi urusan rumah. Butch lebih memegang kendali dalam banyak keputusan dan ujung-ujungnya menjadi posesif terhadap femme karena merasa butch (sebut saja Rere) adalah kepala keluarga dan femme sudah selayaknya nurut. Kekerasan psikis yang dialami femme (sebut saja Nana) diikuti dengan kekerasan fisik karena Nana tidak menuruti aturan-aturan Rere. Rere mulai memukul, menampar, bahkan pernah melakukan hal-hal lebih dari itu yang bisa membuat nyawa Nana melayang begitu saja bila diteruskan. Nana dengan segenap cintanya terus bertahan dan Rere justru semakin menjadi mengulang hal tersebut. Ternyata masa lalu dibalik perilaku Rere tersebut, Rere pernah mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya sewaktu kecil sehingga ketika sudah besar Rere beranggapan (dalam alam bawah sadarnya) memukul adalah hal yang lumrah dilakukan ketika marah. Walau di alam sadar Rere tahu itu merupakan hal yang salah tapi mencoba menari pembenaran bahwa Rere memiliki trauma tersebut. Melihat masa lalu Nana, ternyata dia memilih menjalin hubungan dengan perempuan karena memiliki trauma yang menyebabkan dirinya tidak lagi percaya dengan laki-laki. Salah satu alasannya adalah masalah kekerasan psikis dan fisik. Nana mengharapkan pilihannya kali ini dapat memberikan ketenangan lebih karena mencari sosok yang lebih lembut dan lebih mengerti dari sosok laki-laki yang pernah dia temui. Tapi apa yang dia dapat di sini? Seperti memutar kembali film kelam masa lalunya saja. Tidak ada kemajuan yang signifikan dalam kisah Rere dan Nana. Si butch menyakiti, si femme tidak melakukan perlawanan yang bisa lebih memerdekakan dirinya karena pola pikir yang melekat dari konstruksi label yang dianut tersebut. Walau mereka tahu semua itu hal yang salah.

Betapa mirisnya saya melihat mereka waktu itu. Kalaulah mereka berangkat dari trauma untuk memilih menjadi lesbian, jangan sampai hal tersebut diulang lagi. Sama saja menurunkan sistem patriarki (apakah istilah ini tepat digunakan di sini?) yang justru jadi mendiskriminasi perempuan (lagi).





*Picture drawn by: KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
"UNTITLED"
Pastel on Paper

Some Pictures from Bejana

These are some pictures of people activities, taken and edited by Eira Prameswari


-PULAS-





-MANCING-

Selasa, 09 Februari 2010

SELA


Sela...

Terakhir aku melihatmu, dengan janggal kau sandarkan bahu kananmu ke tembok bata itu. Dengan kepala menengadah seakan-akan hampir patah, dengan jumputan-jumputan rambut kusut terurai aneh menutupi lehermu - basah oleh keringat, lembab oleh air mata. Sudah tak mungkin aku menertawakan kepalamu yang setengah botak dan mata kiri yang tak pernah bisa membuka lagi; aku hanya tertegun karena saat itu - tangan kirimu menggenggam sebatang mawar. Mawar merah ranum masih kuncup malu-malu. Kalian berdua - kau dan mawar itu - bersandar di tembok bata - di bawah derasnya hujan.

Sela...
Terakhir aku melihatmu - sebagaimana selalu selama lima tahun sebelumnya, kau berdiri diam-diam hampir tak kenal waktu. Satu bungkus rokok kuhabiskan memandangimu, kuselingi kopi dalam kemasan atau kacang kulit seplastik hitam. Kau abaikan teriakan melengking anak-anak kecil yang datang dan pergi, seakan cemooh sekejam apapun tak kan sanggup membuatmu menoleh dan menggertak. Di tembok bata yang sama, dengan posisi serupa, kau menatap jauh menembus birunya langit, menantang matahari yang membakar kulit keriput lusuhmu. Dan kalaulah hujan turun, kau hanya akan menyeka dahimu sesekali, meringis menautkan kedua alismu, lalu kembali menatap langit.

Sela...
Tak pernah ada jeda dalam hari-harimu, sekedar mengais makanan atau berjongkok melemaskan kedua kakimu. "Orang gila! Orang gila!", kata mereka - dan kau tak bergeming. Satu dua batu mengenai tubuhmu, kau bahkan tak melirik. Dan terakhir aku melihatmu, dengan mawar merah ranum itu, Bapak-Bapak penghuni kampung yang biasa berjudi di warung sudut ikut datang menontonmu - diam termangu memandang mawar dalam genggamanmu. Saat itu tepat lima belas menit sebelum detik ini, saat kami semua menjerit tertahan. Kotak beroda empat menyambarmu dan berlari kencang menderu-deru, meninggalkan tubuhmu terbaring di tepi tembok bata. Aku tak tau apakah itu warna asli gaun lusuhmu yang terlihat lebih merah - merah ranum menyerupai mawar yang masih kau genggam. Basah tubuhmu lebih lekat dan pekat, namun tak membuatmu terlihat tak berdaya. Kau bahkan tersenyum - untuk pertama kali dalam hidupku, aku melihatmu tersenyum. Dan saat orang-orang berbelas kasih beranjak menutupi tubuhmu dengan lembaran-lembaran koran, aku tersadar, mungkin inilah yang kau tunggu. Panggilan Yang Kuasa untuk meninggalkan hidupmu; bersandar pada tembok bata dan hidup dalam duniamu sendiri, bergerak diam-diam bersama anganmu, tertawa dan menangis dalam dinginnya parasmu. Mawar itu pastilah hadiah entah dari siapa, tanda perginya kau ke tempat yang disebut akhirat, tempatmu bahagia abadi tanpa harus terluka lagi.

Sela...
Pergilah. Tinggalkan dunia yang kejam ini, hiduplah dengan tenang. Beristirahatlah, Sela.

.Dorothea Diba.
.2009.

*Details on the picture;
"SCHIZOPRENIA"
>based on a photograph with the same title by ~EiRa Prameswari~
drawn by KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
Pencil on Paper

Sights by Us

"PRETENDED MAGMA"
~EiRa Prameswari~
Pastel on Paper



"SPRINKLESS"
~Eira Prameswari~
Pastel on Paper



"KOTAK"
~Eira Prameswari~
Pastel on Paper



"FLOWER GIRL"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2008
Oil on Canvas
*Used as a cover for one of the four pocket book series on Women Issues in North Sumatra

Menjadi Seorang Ibu




Aku ingat pernah berkata ke Ibuku sewaktu masih duduk di bangku SMU, "Mama, Diba tadi lihat buku tentang melahirkan anak. Seram ya Ma, dari lubang sekecil itu, bisa keluar bayi! Mama dulu nggak takut?" Tanggapan Ibuku saat itu sederhana, " Kalau dipikirin sekarang ya pasti seram. Nggak usah dibayangin, suatu saat nanti mungkin bakal ngalamin sendiri. Setelah melahirkan nanti, tiba-tiba semua sakitnya lewat, nggak ada lagi rasa takut.

Sekitar dua tahun yang lalu, ditengah percakapan dengan topik 'Akan Menjadi Ibu Seperti Apa Kita Nanti', salah satu sahabatku mengungkapkan bahwa Ia harus sudah memiliki deposito berjumlah minimal sepuluh juta rupiah khusus untuk biaya pendidikan anaknya baru Ia berani untuk betul-betul memiliki seorang anak (angka itu baru berubah beberapa hari yang lalu menjadi sekitar tiga puluh juta rupiah begitu mengetahui uang pendaftaran anak ke Taman Kanak-Kanak saat ini bisa mencapai delapan juta rupiah).

Beberapa teman juga sempat membayangkan akan seperti apa mereka ketika mempunyai anak nantinya, "Pokoknya aku nggak mau pake Baby Sitter, harus aku sendiri yang urus. Kalo aku kerja? Ya Mamiku yang jagain," atau, "Senangnya kalo anakku nanti mengikuti hobiku, jadi kami bisa belanja bareng," atau, "Anakku nggak boleh main yang kotor-kotor dan dia harus les sana-sini biar pintar," dan berbagai rencana lainnya dari mereka masing-masing.

* * *

Mengapa aku membawa 'Menjadi Seorang Ibu' sebagai sebuah topik sementara sesungguhnya belum perlu kupikirkan? Pikiranku terusik ketika beberapa waktu lalu aku mendengar kabar bahwa salah satu teman yang kusayangi sedang hamil. Bukan ketidaktahuan hingga keterkejutanku yang mengusik pikiranku. Kehamilan itu direncanakan oleh mereka berdua dan aku senang karena itu berarti sama sekali tak ada rencana untuk menggugurkannya dari mereka berdua. Hanya saja, menurutku, kalau sudah direncanakan (yang dengan istilah mereka, 'diniatin'), sebaiknya mereka sudah mempersiapkan diri betul dalam menyambut bayi ini. Aku tak tau apakah pikiranku tepat, tapi setidaknya demikian saran bagi mereka (yang masih kusimpan dalam hati);

1. kestabilan emosional: ini berarti setidaknya mereka tidak memiliki beban apapun yang dapat membuat mereka (terutama yang perempuan) mudah tertekan atau terbebani - tidak ada masalah dengan orang tua atau orang dekat lainnya, tidak memiliki beban dari masa lalu yang masih dapat mengganggu, dsb.

2. finansial: kehamilan membutuhkan asupan gizi yang cukup, belum lagi memikirkan ngidamnya, kebutuhan akan baju yang tidak membatasi ruang gerak si calon ibu, biaya periksa rutin ke dokter, mengikuti program senam hamil (bila diperlukan), akses ke sumber informasi mengenai kehamilan (buku-buku, majalah, dll)

3. lingkungan: berkaitan dengan lingkaran teman si calon ibu (juga calon ayahnya) - jangan sampai masih tergiur untuk mengkonsumsi rokok atau alkohol, misalnya, atau malah masih pergi dugem hingga dini hari, bersih dan nyaman tidaknya lingkungan tempat tinggal mereka, apakah orang-orang di sekitar mereka adalah orang-orang yang supportif dan membantu menjaga sang calon ibu selama masa kehamilannya, dsb

Aku percaya akan kalimat 'anak adalah sumber berkat'. Aku meng-Amin-i kata-kata bahwa 'kalau untuk anak, pasti selalu ada jalan', tapi tidak berarti tanpa persiapan apapun (atau dengan persiapan yang dijalankan begitu si calon ibu memasuki masa-masa awal kehamilan sehingga terkesan panik atau masih harus repot urus ini-itu kesana-kemari). Aku pribadi sudah mengkeret semasa masih SMA menyadari sulitnya melahirkan seorang anak. Itu baru masalah 'kelahiran'. Belum mempertimbangkan apa-apa yang akan kuhadapi selama masa kehamilan, juga setelah kelahiran; biaya susu dan kesehatan, semua kebutuhan mencakup pakaian serta perlengkapan bayi lainnya, pendidikan ketika si anak mulai beranjak besar, dsb.

Aku tidak heran sebagian besar temanku berpikir panjang ketika membicarakan masalah keinginan memiliki anak. Kami sadar betul anak bukan mainan atau sesuatu untuk kesenangan semata. Khusus bagi beberapa di antara kami yang sudah memiliki pasangan walau belum menikah, anak juga bukan sekedar mimpi sebagai 'pelengkap kebahagiaan' karena memiliki anak berarti siap mencurahkan atau mengorbankan apapun - segalanya - bagi sang anak. Maka aku tidak menganggap temanku mengada-ada ketika Ia bercita-cita memiliki deposito dalam jumlah tertentu sebelum akhirnya mewujudkan keinginannya menjadi seorang Ibu, atau ketika temanku yang lain berandai-andai akan seperti apa aktivitasnya bersama sang anak tanpa melupakan bahwa Ia pun harus bekerja keras untuk dapat mewujudkan gambaran yang Ia punya.

Bagi pasangan-pasangan tertentu yang berkeputusan untuk memiliki anak - lepas dari masalah dengan atau tanpa status 'menikah' - silahkan dipersiapkan betul diri masing-masing, secara bersama-sama (kecuali yang perempuan berkeputusan untuk membesarkan anaknya sendirian/single parent) demi kondisi calon ibu dan kehidupan si bayi. Bagi mereka yang menyebut kehamilan sebagai 'kecelakaan', entahlah. Aku pribadi selalu memilih menyarankan teman-temanku yang mengalaminya untuk tetap bertahan hingga si bayi lahir - aku tidak bersedia menyinggung aborsi disini. Bagi mereka yang melakukan hubungan seks bebas, silahkan melakukannya dengan 'aman' jika belum siap betul untuk memiliki seorang anak. Kita semua tentu tidak mau ada bayi-bayi terlahir tanpa kasih sayang, perlindungan, jaminan kesehatan dan pendidikan, penyediaan fasilitas serta ketenangan hidup secara utuh, bukan?


.Dorothea Diba.
.2010.

*Picture drawn by: KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
"PEREMPUAN"
Pencil on Paper

Some Simple Drawings



"DECISION"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2008
Colour Pencil and Pastel on Paper



"SESAK"
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
Pencil on Paper



"BALLERINA"
*based on a photo (Unknown)
KrisanPutih (Dorothea Diba), 2008
Pencil and Patel on Paper

Senin, 08 Februari 2010

Dimana Anakku

Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana buah hatiku?

Aku mencarinya sepanjang malam ini. Di rumah tetangga, di tempat katanya dia biasa bermain pasir, di ayunan sekolah, di atas pohon arbei yang suka sekali dia panjat. Tidak ada. Gelisah.

Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana anakku?
Dimana belahan jiwaku?

Kucari sekali lagi di dalam kotak susu vanila madu kesukaannya, di kolong tempat tidur, di keranjang berisi tumpukan mobil-mobilan, di setiap halaman buku penuh gambar laut dan Sponge Bob kesayangannya. Tak juga ketemu. Bingung. Limbung.

Jemari kiriku meremas lengan kanan. “Tenang”, kataku pada diriku, tapi kernyit dahi terus bertanya, “Di mana dia? Sudah semalaman aku masih belum menemukannya?” Perutku sudah mulai tidak terima, “Kemana anakku? Seharusnya dia ada waktu aku pulang kerja”, mulas. Kepalaku tiba-tiba gatal. Kugaruk sekali, dua kali, hingga berkali-kali. Rambutku mulai awut-awutan. Kuambil segelas air putih lalu kuteguk sampai tak bersisa. Namun pertanyaanku masih tersisa begitu banyak dan kerongkonganku ini tak berhenti kering. Kakiku berjalan gontai menuju kamar. Kubuka pintu. Panel pintu mengembun tersentuh tanganku yang mendingin. Kututup pintu, lalu kaki yang tak kuat menumpu tubuh lemasku ini ambruk tepat di belakang pintu.

Aku tak tahu.
Aku tak tahu.
Aku tak tahu lagi.

Tapi aku harus tahu di mana anakku. Dia darah dagingku, tapi kini aku tetap tak tahu. Anakku……..

Pandangan mata kulempar kesana kemari, ke semua sudut, tak beraturan. Napas tertahan di hati sesakku sampai lupa kuhembuskan beberapa saat. Jantung ini mulai lemas, malas berdetak karena jengah pada setiap pikiranku yang hanya terus menerus bertanya dan tak kunjung menemukan jawabannya.

Kupejamkan mata lalu berdoa. Kutata ulang lagi setiap hembusan napasku. Aku harus lebih tenang. Limbung tidak akan menemukannya. “Ayo Eka, kali ini pasti bisa menemukannya. Ikuti naluri keibuanmu”, mataku terbuka perlahan, cahaya lampu kamar terasa lebih terang daripada tadi. Gerak tangaku mulai mengikuti naluri. Kuambil telpon genggam dari saku celana jeans. Berat sekali rasanya harus menelpon sebuah nama di buku telpon ini. Utomo, tapi kali ini aku sudah tidak ingin membuang waktu lagi. Dua kali dering nada sambung langsung disaut oleh suara lelaki yang terdengar berat dari seberang sana, “Ya? Kenapa, Ka?”, musik berdentum keras menyamarkan suaranya. Bibirku bergetar namun terus kuusahakan untuk berucap. “Adit lagi sama kamu ga, Mas?”. “Apa? Kenapa?”, dentuman-dentuman musik itu ternyata mengalahkan suaraku. Tarikan napas yang dalam kuambil lalu mengulang kalimatku dengan lebih jelas, “Adit lagi sama kamu ga, Mas Tom?”. Suara lantang dengan nada heran bercampur kesal menderu panjang persis di telingaku, “Hah? Aneh kamu. Emang sekarang aku lagi di mana? Ya ga mungkinlah! Kok bisa? Kemana dia malem-malem gini? Kamu pasti ga becus ngurusin anak. Kerjaan aja terus diurusin! Terus kemana anak itu malem-malem gini? Kalo ga bisa ngurus an……..”, semua dentuman, suara lantang, makian menjadi samar. Telpon genggam menggeletak di lantai parquet sambil kutatapi dengan kosong. Maki-makian yang lantang dan menusuk hati masih terdengar lirih tak mau berhenti. Aku sudah tak ingin mendengarnya lagi tapi masih tetap saja terdengar.

Aku tak berguna kini, hanya sekedar bernyawa saja. Sensasi rasa pahit dari kehilanganku ini mematikan semua indera, bahkan indera keenam keibuanku. Habis sudah daya. Aku masih tersandar dan bernapas di balik pintu kamar. Tak lagi bisa mengandalkan naluri. Mulai berimajinasi. Adit tertawa menggelendot di perut hangatku lalu melompat ke kasur. Didudukinya bantal berisi bulu angsa yang gembul itu. “Adit, ga boleh dudukin bantal ah, sayang. Pamali”, aku menggeleng sebagai isyarat tidak boleh, lengkap dengan kernyitan dahi. Adit malah sengaja memantulkan pantatnya di atas bantal sambil tertawa renyah. Halusinasi.

Segala lelah menidurkanku dengan mata terus terbuka, masih pada posisi yang sama.



***


Alarm jam berdering tepat pukul 4.55. Tuti terbangun kaget. Tangan kirinya meraih jam beker lalu dimatikan lekas-lekas. Dikejap-kejapkan mata merahnya untuk menyudahi kantuk. Perlahan tangan kanan ditarik sembari bangkit dari baringnya. Hati-hati sekali, karena semalaman Adit tidur bersembunyi di ketiaknya seperti banyak malam sebelumnya. Ditatapi sejenak paras bocah enam tahun itu, lembut. Jari berkulit tebalnya menyapu poni Adit. Senyuman tersungging tipis melihat si bocah masih tertidur pulas. Gairah paginya sekejap jadi bangkit begitu saja. Seperti biasa, Tuti keluar kamar, mematikan lampu depan, membuka gorden-gorden, berjalan menuju dapur. Dilihat tas Ibu sudah di atas kursi ruang tengah. Senyum terpulas lagi di wajah berminyaknya, membayangkan Ibu sedang tertidur tenang di kamar setelah seharian kecapaian. Ditemani ceret dan api kompor Tuti meramu secangkir teh celup, satu sendok madu, ditambah seujung sendok garam halus. Mug putih favorit Adit bergambar konyol Sinchan dan Mamanya diisi satu setengah sendok susu bubuk coklat dan satu sendok yang rasa stroberi.



Solo,
2-3 Januari 2010
O2:18

~Eira Prameswari~

Some Pictures from Bejana

These are some pictures of beauty, taken and edited by Eira Prameswari

-MENTARI MALAM-



-PRAMBANAN SENJA-





-LADY SUNSET-





-SHE & SHE-




*Exhibited in IDAHO 2008 (International Day Against Homophobia), at Jogja National Museum, Yogyakarta

Sheryl, Sheryl

Oh thou, thy mighty shines
Neither height you reach nor soul you bleach
Sheryl, Sheryl, what’s your will
Thou shattered and flattered, there troubles in feel
Yet northern star burns,
Yet golden sun blooms
Sheryl, Sheryl, you stay still
Thy wings are narrow, how fragile art thee
Dancing on pillows, thy smile bring sorrow
Scratched black gown with scars so smooth
Bend in humble with tunes by flute
Sheryl, Sheryl, your bitters chill
Too young for humming the blues
Too sweet to walk in woods
Sheryl, Sheryl, thy starvation kills
Thy poverty bleeds
Restless eyes seeking for pills
Smiling cheeks blushing but grills
Sheryl, Sheryl, art thou questioning hills
Remind me of an old cassette
When life’s not so brunette
Now as I lit the cigarette
The air in anger it looks scarlet
Sheryl, Sheryl, do not yet fade
Do not dimmed, do not pale
Sheryl, Sheryl, whistle through the rain
Do free from the pain
Release thy chain
Do dance again
Sheryl, Sheryl, though so it aches
Though life still fakes
Sheryl, Sheryl, fight the tears
Sheryl, Sheryl, thou should live

.Dorothea Diba.
.2009.
--published in "Poetry for Charity volume 2", 2009