Selasa, 09 Februari 2010

Menjadi Seorang Ibu




Aku ingat pernah berkata ke Ibuku sewaktu masih duduk di bangku SMU, "Mama, Diba tadi lihat buku tentang melahirkan anak. Seram ya Ma, dari lubang sekecil itu, bisa keluar bayi! Mama dulu nggak takut?" Tanggapan Ibuku saat itu sederhana, " Kalau dipikirin sekarang ya pasti seram. Nggak usah dibayangin, suatu saat nanti mungkin bakal ngalamin sendiri. Setelah melahirkan nanti, tiba-tiba semua sakitnya lewat, nggak ada lagi rasa takut.

Sekitar dua tahun yang lalu, ditengah percakapan dengan topik 'Akan Menjadi Ibu Seperti Apa Kita Nanti', salah satu sahabatku mengungkapkan bahwa Ia harus sudah memiliki deposito berjumlah minimal sepuluh juta rupiah khusus untuk biaya pendidikan anaknya baru Ia berani untuk betul-betul memiliki seorang anak (angka itu baru berubah beberapa hari yang lalu menjadi sekitar tiga puluh juta rupiah begitu mengetahui uang pendaftaran anak ke Taman Kanak-Kanak saat ini bisa mencapai delapan juta rupiah).

Beberapa teman juga sempat membayangkan akan seperti apa mereka ketika mempunyai anak nantinya, "Pokoknya aku nggak mau pake Baby Sitter, harus aku sendiri yang urus. Kalo aku kerja? Ya Mamiku yang jagain," atau, "Senangnya kalo anakku nanti mengikuti hobiku, jadi kami bisa belanja bareng," atau, "Anakku nggak boleh main yang kotor-kotor dan dia harus les sana-sini biar pintar," dan berbagai rencana lainnya dari mereka masing-masing.

* * *

Mengapa aku membawa 'Menjadi Seorang Ibu' sebagai sebuah topik sementara sesungguhnya belum perlu kupikirkan? Pikiranku terusik ketika beberapa waktu lalu aku mendengar kabar bahwa salah satu teman yang kusayangi sedang hamil. Bukan ketidaktahuan hingga keterkejutanku yang mengusik pikiranku. Kehamilan itu direncanakan oleh mereka berdua dan aku senang karena itu berarti sama sekali tak ada rencana untuk menggugurkannya dari mereka berdua. Hanya saja, menurutku, kalau sudah direncanakan (yang dengan istilah mereka, 'diniatin'), sebaiknya mereka sudah mempersiapkan diri betul dalam menyambut bayi ini. Aku tak tau apakah pikiranku tepat, tapi setidaknya demikian saran bagi mereka (yang masih kusimpan dalam hati);

1. kestabilan emosional: ini berarti setidaknya mereka tidak memiliki beban apapun yang dapat membuat mereka (terutama yang perempuan) mudah tertekan atau terbebani - tidak ada masalah dengan orang tua atau orang dekat lainnya, tidak memiliki beban dari masa lalu yang masih dapat mengganggu, dsb.

2. finansial: kehamilan membutuhkan asupan gizi yang cukup, belum lagi memikirkan ngidamnya, kebutuhan akan baju yang tidak membatasi ruang gerak si calon ibu, biaya periksa rutin ke dokter, mengikuti program senam hamil (bila diperlukan), akses ke sumber informasi mengenai kehamilan (buku-buku, majalah, dll)

3. lingkungan: berkaitan dengan lingkaran teman si calon ibu (juga calon ayahnya) - jangan sampai masih tergiur untuk mengkonsumsi rokok atau alkohol, misalnya, atau malah masih pergi dugem hingga dini hari, bersih dan nyaman tidaknya lingkungan tempat tinggal mereka, apakah orang-orang di sekitar mereka adalah orang-orang yang supportif dan membantu menjaga sang calon ibu selama masa kehamilannya, dsb

Aku percaya akan kalimat 'anak adalah sumber berkat'. Aku meng-Amin-i kata-kata bahwa 'kalau untuk anak, pasti selalu ada jalan', tapi tidak berarti tanpa persiapan apapun (atau dengan persiapan yang dijalankan begitu si calon ibu memasuki masa-masa awal kehamilan sehingga terkesan panik atau masih harus repot urus ini-itu kesana-kemari). Aku pribadi sudah mengkeret semasa masih SMA menyadari sulitnya melahirkan seorang anak. Itu baru masalah 'kelahiran'. Belum mempertimbangkan apa-apa yang akan kuhadapi selama masa kehamilan, juga setelah kelahiran; biaya susu dan kesehatan, semua kebutuhan mencakup pakaian serta perlengkapan bayi lainnya, pendidikan ketika si anak mulai beranjak besar, dsb.

Aku tidak heran sebagian besar temanku berpikir panjang ketika membicarakan masalah keinginan memiliki anak. Kami sadar betul anak bukan mainan atau sesuatu untuk kesenangan semata. Khusus bagi beberapa di antara kami yang sudah memiliki pasangan walau belum menikah, anak juga bukan sekedar mimpi sebagai 'pelengkap kebahagiaan' karena memiliki anak berarti siap mencurahkan atau mengorbankan apapun - segalanya - bagi sang anak. Maka aku tidak menganggap temanku mengada-ada ketika Ia bercita-cita memiliki deposito dalam jumlah tertentu sebelum akhirnya mewujudkan keinginannya menjadi seorang Ibu, atau ketika temanku yang lain berandai-andai akan seperti apa aktivitasnya bersama sang anak tanpa melupakan bahwa Ia pun harus bekerja keras untuk dapat mewujudkan gambaran yang Ia punya.

Bagi pasangan-pasangan tertentu yang berkeputusan untuk memiliki anak - lepas dari masalah dengan atau tanpa status 'menikah' - silahkan dipersiapkan betul diri masing-masing, secara bersama-sama (kecuali yang perempuan berkeputusan untuk membesarkan anaknya sendirian/single parent) demi kondisi calon ibu dan kehidupan si bayi. Bagi mereka yang menyebut kehamilan sebagai 'kecelakaan', entahlah. Aku pribadi selalu memilih menyarankan teman-temanku yang mengalaminya untuk tetap bertahan hingga si bayi lahir - aku tidak bersedia menyinggung aborsi disini. Bagi mereka yang melakukan hubungan seks bebas, silahkan melakukannya dengan 'aman' jika belum siap betul untuk memiliki seorang anak. Kita semua tentu tidak mau ada bayi-bayi terlahir tanpa kasih sayang, perlindungan, jaminan kesehatan dan pendidikan, penyediaan fasilitas serta ketenangan hidup secara utuh, bukan?


.Dorothea Diba.
.2010.

*Picture drawn by: KrisanPutih (Dorothea Diba), 2010
"PEREMPUAN"
Pencil on Paper

Tidak ada komentar:

Posting Komentar