Senin, 01 Maret 2010

Bunga Matahari

“Sekar, itu Mama beliin makan malam ayam bakar di meja, ya…”.

“Aku gak makan ya, Ma. Mau tidur aja. Rasanya kayak masuk angin, ni…”.

“Kamu akhir-akhir ini pulang malem terus, deh. Pasti nyampe rumah hampir jam sembilan gini. Oh iya, besok ngambil rapor jam sepuluh, ya?”

Tidak ada jawaban dari Sekar. Hanya suara tivi dan suara Sekar yang muntah dari kamar mandi disusul suara pintu kamar mandi yang dibuka Mama. Sekar berhenti muntah, lalu melihat kaget Mama dari cermin wastafel.

“Kalau masuk angin, makan dulu sana, baru tidur. Atau kalau lagi gak selera makan, minum teh serai Mama di meja. Masih hangat”.

Mama lalu lari menghampiri telpon yang sudah berdering tiga kali. Dari Tante Nita, teman akrab Mama. Satu tarikan napas panjang dari Sekar. Lega rasanya. Bukan hanya karena sudah muntah, tapi karena tadi Mamanya tidak tanya ini – itu, tidak sempat lihat ada darah yang Sekar muntahkan. Ya, jelas saja muntah darah. Hampir seminggu penuh minum-minum terus. Padahal tidak ada yang sedang dirayakan. Hanya pada waktu itu merayakan datangnya hari Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis. Dan barusan ini merayakan hari Jum’at.

Mama masih asyik ngobrol di telpon sambil cekikikan. Sepertinya sedang merencanakan sesuatu yang asyik. Sekar minum seteguk teh serai Mama lalu lekas-lekas masuk kamar, putar radio, tarik selimut, lalu coba pejamkan mata merahnya itu. Tapi masih susah tidur, memikirkan terus pengalaman pertama muntah darahnya. Maklum, baru jadi peminum pemula yang sedang rajin berlatih. Bergidik juga jadinya Sekar. Jadi bertanya terus dalam hati, kenapa bisa begitu, ya ? Pikirannya pun terus melayang sambil matanya mengatup perlahan.

Hampir jam 3 pagi. Suara Tante Nita di luar buat Sekar terbangun.

“Gila ! Dah lama banget gak gila-gilaan gini! Kamu merhatiin tingkah cowok yang baju ijo tadi? Pasti dia gak nyangka banget kalo anak kita lagi pada tidur nyenyak di rumah”.

Tidak ada jawaban dari Mama. Hanya suara keran wastafel yang dibuka, mengguyur muntahan Mama, tidak jauh beda seperti Sekar tadi. Mama nyanyi-nyanyi gak jelas. Sekar hanya menguping sambil masih ngantuk. Ternyata Mamanya habis pulang dugem, minum sampai mabuk.


* * *

Sabtu siang rumah sepi. Hanya ada Mama yang merokok diam-diam di kamar mandi. Masih terus memandangi rapor Sekar yang banyak merahnya. Mama berpikir, jangan-jangan tinta hitam gurunya Sekar habis, jadi pakai tinta merah dulu? Atau jangan-jangan memang sekarang memang memakai tinta merah untuk mengisi nilai rapor? Mama sudah kehabisan imajinasi untuk mengelabui perasaannya sendiri. Mama ganti baju, lalu mengeluarkan VW Convertiblenya. Ingin ke pantai rasanya. Sendirian mungkin asik juga. Baru beberapa meter dari rumah, VW direm. Mama panggil Sekar yang sedang merokok sendiri di warung burjo. Kontan Sekar kaget dan membuang rokoknya. Sekar disuruh naik ke mobil. Saking gugupnya, Sekar naik sampai lupa bayar. Sepanjang perjalanan mereka banyak diam. Hanya Jammie Cullum yang All at Sea diputar, mengatakan sedikit isi hati Mama.

Sekar memulai pembicaraan dengan kaku dan gugupnya masih belum juga surut. “Aku emang tadi ngerokok, Ma. Tapi cuman sebatang, kok. Nilaiku juga banyak merahnya. Aku tau aku kebanyakan main. Mama berhak nge…..”, kalimat Sekar karena tiba-tiba juga Mama banting setir ke kiri sambil ngerem mendadak.

“Gak, papa kok. Sekarang kita buang sumpek ajah ke pantai”, Mama mengeluarkan rokoknya lalu disulut.

“Ambil aja. Rokokmu juga sama, kan?”

Sekar masih tegang, gugup, ditambah kaget dan bingung mau bilang apalagi. Mama memandang Sekar, memberi isyarat untuk mengambil rokoknya. Sekar ambil satu batang. Tidak disulut. Hanya diputar-putar di jarinya sampai tiba di pantai.

Mereka hanya banyak diam. Berjalan perlahan menuju batu karang yang besar sambil melelehkan kepenatan, kesumpekan, lalu di bawa ombak yang datang dan dibuang jauh ke tengah lautan sana. Batu karang besar itu favorit Papa dan Mama. Mereka duduk memandangi laut. Merokok. Tidak ada lagi yang sembunyi-sembunyi.

“Mama ngerti perasaan kamu. Kenapa nilai rapor banyak merahnya. Kenapa kamu sering pulang malam. Kenapa kemarin kamu sampai muntah-muntah begitu”.

Sekar hanya bisa diam. Padahal dia juga ingin sekali tanya, kenapa semalam Mama minum sampai mabuk begitu. Tapi Sekar hanya tetap diam. Merokok lagi bersama Mama dan suara ombak. Mereka berbicara tanpa saling menatap

“Sore ini kita ngobrol sebagai teman saja, ya. Mama juga pengen berbagi sama kamu. Sebenarnya kita sama-sama merasa kesepian. Walaupun Mama punya kamu. Kamu punya Mama. Tapi tetap saja, kita sama-sama kangen kehangatan Papa”, Mama berhenti sejenak, menyalakan rokoknya lagi.

“Tapi kita juga emang harus nyoba ngertiin. Selain kita, Papa juga punya Tante Mirta, Tante Lina, Danu, Satrio, Mega, yang masih bayi. Memang kita sekarang lagi dalam keadaan yang kurang menyenangkan, ga kita harapkan. Tapi kita harus berjuang dalam keadaan ini , bertahan untuk terus maju. Bukan berteriak menyalahkan keadaan. Berteriak mencaci sampai puas. Padahal tidak akan ada puasnya. Mama pengen bisa mencukupi figur Papa juga untuk kamu. Dan Mama terus mencoba untuk itu. Mama minta pengertian kamu ya?”

Mereka kembali diam. Matahari sudah mulai turun untuk tenggelam.

“Ma, namaku Sekar. Artinya bunga. Aku Bunga Puteri Malu yang berwarna ungu. Tiap hari hanya berwarna ungu. Lalu Bunga Puteri Malu selalu memandangi Matahari, mengaguminya. Matahari begitu hebat dan Si Bunga Puteri malu merasakan dia begitu kuat. Benar-benar kagum Si Bunga Puteri Malu itu, sampai-sampai dia berubah bentuk perlahan, hingga menjadi berbentuk hampir menyerupai matahari. Lalu disebutlah ia Bunga Matahari. Dan Matahari itu adalah Mama”.

Mama tersenyum dalam haru. Di pantai itu ada mereka bertiga sekarang. Matahari yang sedang turun untuk terbenam, Mama sang Mataharinya Sekar, dan Sekar - Si Bunga Matahari. Sekar duduk mendekat Mama, memeluk lengan Mama dan menikmati hangatnya ketiak Mama. Mama membuang rokoknya yang masih panjang. Mereka berdua hanya diam menikmati kedalaman rasa dan makna dari perjalanan hari-hari mereka selama ini.



~EiRa~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar