Sabtu, 06 Maret 2010

Tentang Adin dan Mia

Adin terbangun. Kaget. Meraih handphone hitamnya, melotot menatap angka 07.30, dan meloncat tergesa-gesa. Membuka pintu kamar dengan kasar, setengah berlari menuju kamar mandi, kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Berdiri tegak di tengah ruangan, ia memandang langit-langit, berusaha mengingat pukul berapa tepatnya ia memiliki janji untuk bertemu pagi ini.

"Hei. Lho. Belum bangun?", Adin memutuskan menelepon Mia, sahabatnya.
"Mmm? Ini jam berapa..?"
"Setengah delapan. Lebih. Kita ketemuan jam berapa ya Mi? Aku lupa..."
"Astaga Din... Jam sebelas..."
"Oh?", Adin tertawa kecil, "Maaf Mi, maaf, aku kecepatan bangunnya. Ya udah tidur lagi sana, sampai ketemu nanti ya..."
"Mmm. Adiiin... pasti mikirnya harus ke kantor deh makanya bangun jam segini. Ya udah ya, sampai nanti... Di kantin kampus Din, jangan sampai lupa ya..."
"Haha.. Oke. See you soon."
"Mmm. Bye..."

Adin beranjak ke arah jendela, membuka tirai hijau besar yang menutupi pemandangan ke arah balkon kecil di luar kamarnya. Sinar matahari mulai menerangi seluruh ruangan saat Adin mengira-ngira apa yang membuat Mia mengajaknya bertemu hari ini. Hari Sabtu memang hari beristirahat, saatnya bangun siang karena kantor tidak mengharuskannya bekerja. Tetapi datang ke kampus tempat ia pernah kuliah sebelum menghentikannya dan berjanji untuk makan siang di kantin? Satu hal yang dalam enam bulan terakhir tidak pernah ia lakukan lagi. Ia masih menduga-duga hingga setengah jam setelahnya, duduk di kursi sudut ruangan dengan secangkir kopi panas. Ada apa? Mia ribut lagi dengan pacarnya? Atau ia sedang ada masalah dengan Ibunya? Atau...

"Hai...", sapa Mia sambil merentangkan kedua tangan, berjalan menuju tempat Adin duduk dengan segelas besar kopi hitam pekat. Mereka berpelukan dan sesaat setelahnya Mia sudah duduk manis di hadapannya. "Udah lama Din?".
Adin menatap jam hitam mungil di pergelangan tangan kanannya. "Setengah jam, nggak lama kok," jawabnya sambil tersenyum. "Tadi bimbingan? Gimana? Udah bisa maju ke penelitian?"
Mia mengangguk dengan senyum cerah. "Udah, lumayan cepat kalau dosen pembimbingnya yang ini. Mas!", serunya tiba-tiba sambil melambaikan tangan, "Es teh manis satu ya." Ia menatap Adin sejenak, menunduk, lalu mengangkat wajahnya kembali. "Ini rokok kenceng amat Din."
Adin menggeleng pelan. "Mi... Ada apa?", tanyanya tanpa lebih banyak basa-basi.
Pesanan Mia datang. Ia mengaduk es tehnya perlahan dengan sedotan plastik.
"Mi...", panggil Adin, menatap wajah Mia lekat-lekat.
Mia tersenyum. "Nggak ada apa-apa Din... Kangen aja...".
Kedua alis Adin terangkat. "Mi, ayo dong... Ni ngajak ketemuan tiba-tiba begini ada apa? Kok tumben banget?"
"Lho biasanya kan kita memang sering tiba-tiba janjian ketemu. Kenapa sih Din curiga amat? Kangen doang...".
Adin menghela nafas panjang. "Oke.", sahutnya, "So how is life going?"

Mereka berdua berbincang seakan tidak bertemu dalam hitungan tahun. Lama sekali, masing-masing menghabiskan dua gelas besar minuman dan berbatang-batang rokok. Perbincangan panjang yang hampir terkesan kering dan dingin.
"Senin ngantor Din?", tanya Mia sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas hitam besarnya.
"Iya dong...", Adin mematikan rokoknya, "Kenapa?"
"Enggak, nanya aja," jawab Mia, melirik tidak suka pada asbak berisikan beberapa puntung rokok. "Itu dikurangin dong Din, ga sehat. Ga bagus. Udah mulai sering batuk-batuk kan?"
Adin tersenyum sekilas. "Nafasnya mulai bunyi kalau malam."
Mia melotot.
"Udah deh Mi... Nggak apa-apa kok. Jadi..? Kapan kita ketemu lagi?"
"Aku masih kangen Din..."
Adin menggenggam tangan Mia. "Iya, aku juga. Tapi ya mau gimana, hidupnya udah beda-beda gini. Kamu sibuk skripsi, aku udah punya jam kantor sekarang. Susah ngepasin jam buat ketemu. Paling Sabtu atau Minggu. Atau besok mau ketemu?"
Mia diam.
"Ya udah, besok kabarin aja kalau mau ketemu ya. Aku kosong kok sampai sore."
"Malamnya?"
"Harus cepat tidur, Mi... Daripada telat bangun paginya...".

Setelahnya, Mia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, memijat keningnya perlahan. Kenapa ya aku nggak bisa ngomong ke Adin? Aku pengen Adin tau... Aku pengen ditemenin Adin. Tapi rasanya udah jauh, rasanya udah nggak kayak dulu lagi sama Adin. Adin pasti sibuk, apa dia peduli kalau aku cerita? Di tempat berbeda, Adin memutar komposisi klasik karya Chopin, kesulitan menenangkan pikirannya dari Mia. Pasti ada sesuatu. Pasti Mia sebenarnya pengen cerita. Tapi kenapa dia nggak ngomong? Apa dia sebenarnya nggak pengen aku tau? Nggak pengen bagi ke aku? Terus kenapa dia minta ketemu? Kok rasanya beda ya? Mia dan aku udah nggak seperti dulu lagi...

Mia terbangun tepat pukul lima sore setelah sebelumnya tertidur masih dengan baju yang ia kenakan ke kampus pagi harinya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan duduk pelan-pelan. Tatapannya lurus ke arah satu lukisan minyak di atas kanvas. Perempuan dengan bunga besar di sisi kanannya. Menoleh ke sisi kiri kamarnya, lukisan kecil bergambarkan bayangan kucing menatap jendela tergantung rapi di dinding. Keduanya oleh Adin. Pelan air matanya jatuh. Ia menyekanya. Aku harus cerita.

Lagi apa Din? Begitu pesan singkat yang Adin terima lewat handphone kesayangannya. Segera ia menghentikan ketikan yang merupakan tugas kantor yang ia bawa pulang. Menatap ke jendela dan melihat wajah Mia disana. Sesuatu mendera hatinya. Rasa yang selalu datang saat Mia sedang tidak dalam keadaan baik. Lagi ngetik, jawabnya. Ia bingung harus berkata apa lagi. Ingin bertanya, tapi ia takut jawaban Mia tidak akan menjelaskan apapun. Hanya berupa tidak apa-apa, nanya aja atau oh ya udah, take care. Adin melanjutkan ketikannya. Berjarak beberapa puluh meter dari tempat Adin duduk, Mia meletakkan handphone ke atas meja. Kecewa. Adin bahkan tidak bertanya.

Jarum jam menunjuk angka tujuh saat Adin menyelesaikan ketikannya. Ia meraih handuk, beranjak untuk mandi setelah menyadari tubuhnya lengket oleh keringat. Saat ia kembali ke dalam kamarnya dengan rambut basah dan berlilitkan handuk, pandangannya tertuju pada satu foto berbingkai kayu coklat tua. Ia dan Mia. Pelan ia mengenakan celana pendek hitam dan kemeja longgar putih milik Ibunya sambil memandangi foto itu. Lama sekali rasanya setelah saat itu, lama sekali tidak berbagi waktu bersama - berbagi tawa dan tangis. Ia jongkok sambil mengacak-acak rambut basahnya dengan handuk, masih memandangi foto yang sama. Ia harus bertemu Mia. Segera ia mengetik pesan singkat untuk dikirim pada Mia. Mi, ada acara? Jalan yuk?

Pukul delapan malam saat Mia tiba di teras kost Adin. Adin sudah siap dengan ransel hitamnya, menunggu Mia sambil berdiri bersandar pada tembok pagar.
"Kok nggak sekalian kujemput aja sih Mi?"
"Deket ini. Aku jalan aja. Ayo mau kemana?"
"Udah makan?"
Mia menggeleng.
"Yuk, kita lihat sambil jalan."
Dalam mini cooper tua berwarna hitam, kedua sahabat itu duduk berdampingan tanpa bicara. Hanya The Beatles yang bersuara menemani sepinya mereka berdua saat seluruh jalan hiruk pikuk menandakan malam minggu. Mia duduk diam memandang keluar jendela. Adin mengendarai tanpa pernah melepas rokoknya. Beberapa kali Mia menoleh, hanya untuk memandangi dengan raut wajah yang sulit ditebak. Adin tau Mia memandanginya untuk beberapa saat, mengerti betul bahwa sahabatnya itu sedang berjalan-jalan dengan pikirannya sendiri. Namun baik Mia maupun Adin tidak memulai satu patah kata pun. Mereka berdua seperti orang asing terhadap satu sama lain.

Setelah berputar-putar hampir selama satu jam, mereka berhenti di satu tempat makan berbentuk pendopo dengan konsep angkringan khas Yogyakarta. Keduanya memesan minuman hangat seperti teh dengan berbagai rempah di dalamnya dan masing-masing melahap dua porsi nasi kucing dengan berbagai gorengan hangat. Tempat itu tidak penuh walau sebagian besar tempat duduk terisi. Besarnya ruangan dan tingginya langit-langit menyelamatkan suasana dari kesan ramai dan bising. Cenderung tenang, walau sesekali terdengar tawa dari sana-sini. Mia membersihkan sudut-sudut bibirnya dengan tissue. Adin melipat kedua tangannya. Untuk beberapa detik keduanya saling menatap dan kemudian tertawa. "Aneh rasanya.", ujar Adin memulai perbincangan. Mia tersenyum. "Aku... Rasanya aku nggak kenal kamu lagi Mi." Wajah Adin datar saat mengucapkannya. Ia bahkan tidak melihat ke arah Mia. Hanya menyulut rokoknya perlahan, lalu terbatuk sebentar. Pelan Mia mengambil batang rokok yang terselip di antara kedua jari tangan kanan Adin. "Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?", tanya Mia. Adin memandangi Mia yang mematahkan batang rokok itu menjadi dua bagian dan membuangnya ke dalam asbak berbahan batok kelapa. "Pengen aja. Itu rokokku kenapa digituin?". Mia mengangkat wajahnya. "Pengen aja", jawabnya. Tiba-tiba Adin berdiri dan menatapnya tajam. "Ayo Mi." Kedua mata Mia memancarkan keheranan yang jelas. "Mau kemana Din?". Adin melangkah tanpa menjawab. "Kita pulang sekarang?", tergesa-gesa Mia mengejar langkah Adin.

Seperti sebelumnya, Adin menyetir tanpa bicara. Ia mendiamkan Mia yang entah sudah berapa lama memandanginya. "Din...", panggil Mia lembut. Adin mengacuhkannya. "Adin...", ulang Mia. Adin masih tetap diam. "Adin marah..?", tanya Mia hati-hati. Wajah Adin terlihat mengeras. Garis rahang dan tulang pipinya terkesan kuat walau cahaya samar. "Adin!!", Mia mulai tak tahan. "Adin jawab! Kenapa kamu diam dari tadi? Aku salah apa? Karena rokokmu tadi? Adin jawab Din!", Mia mencondongkan tubuhnya ke arah Adin. "Nanti Mi. Ini aku lagi nyetir." Mia meremas tepi bajunya, "Aku tau! Tapi apa kamu nggak bisa jawab sedikitpun? Adin!!". Adin bersikap tidak peduli, seakan tidak mendengarkan sama sekali. "Adin kamu kenapa sih...", Mia mulai terisak.

Mia masih menunduk sesenggukan saat Adin menghentikan lajunya. Rasanya seperti seabad walau perjalanan hening itu hanya memakan waktu tak kurang dari satu jam. "Ayo turun Mi...", ujarnya lembut, "Ayo...". Mia menoleh keluar jendela. Astaga, pikirnya. Tempat ini. Sudah lama sekali... Adin sudah melangkah beberapa meter di depannya saat ia turun dan menepuk-nepuk celananya sedikit kikuk. Ia mengikuti Adin merunduk melewati palang tanda tertutupnya tempat itu dan menaiki jalan setapak hingga titik tertinggi. Merapi dan Merbabu terlihat megah namun samar, seakan dekat tapi jelas berjarak jauh dari gardu pandang itu. Ribuan bintang terhampar di langit, seakan memantul dari bawah saat meliha ratusan titik cahaya dari lampu rumah-rumah kecil di kejauhan. Mia berdiri di samping Adin dengan sisa air matanya. "Waktu itu kita lagi sinting berdua. Pengen pergi jauh dan kamu baru punya motor. Motor yang kamu sebut Si Tampan.", kata-kata itu mengalir dari bibir Adin sambil menatap jauh menembus kedua gunung berwarna hitam dalam biru malam kelam. "Padahal udah dekat UAS, dan itu semester-semester awal kita ngambil mata kuliah berbeda karena konsentrasi studi yang berbeda. Kita mulai jarang ketemu waktu itu dan punya lingkaran kecil teman yang berbeda. Tapi kita selalu punya cara untuk ketemu. Dan tiap ketemu pasti punya lebih dari cukup cerita untuk ngisi waktu berjam-jam. Kamu selalu ada, aku pun begitu."

Mia menoleh dan mencermati wajah sahabatnya. "Kita naik motor kesini malam-malam. Dingin banget, tapi kita berdua ketawa-ketawa sepanjang jalan. Begitu nyampai sini, kita berdua sama-sama diam. Nggak ngobrol sama sekali. Tapi rasanya tenang aja, damai. Paling nggak menurutku begitu.", sambungnya pelan. "Menurutku juga begitu," sahut Adin, "Kita bisa pergi bareng ke satu tempat tanpa bicara banyak, tapi senang aja karena kita berdua bersama." Mia mengusap pipinya, "Karena itu yang terpenting." Adin menoleh ke arah Mia. "Apa yang salah..?", tanyanya dengan suara yang hampir terdengar seperti berbisik, "Sekarang pun kita udah jarang ketemu. Kamu masih berjuang buat ngelarin kuliahmu, aku kerja sejak nggak mau ngelanjutin kuliah lagi. Tapi rasanya kita udah kehilangan saat-saat itu...". Mia mendesah pelan dan duduk berjongkok. "Kamu tau? Sering aku tiba-tiba ingat, tentang kebiasaanmu yang nggak suka mandi...", katanya pada Adin. "Kamu nggak pernah mau makan lele, katamu kayak buaya.", sambung Adin.

"Kalau disuapin, kamu pasti gigit pinggiran sendoknya.", Mia berucap dengan mata menerawang.
"Kamu gigit-gigit sedotan sampai gepeng.", sahut Adin.
"Baca buku sampai ketiduran dan bukunya pasti ditelungkupin nutupin mulut."
"Kamu melintir-melintir ujung bantalmu yang udah kamu punya sejak umur tiga tahun."
"Suka jalan kaki jauh-jauh sambil hujan-hujanan. Sok romantis tapi ujung-ujungnya pilek."
"Seneng anggrek tapi selalu susah ngerawat versi hidupnya.", kali ini Adin duduk bersila di samping Mia.
"Aku kangen...", mata Mia kembali basah.
"Aku juga...", Adin mulai menangis.
"Kadang-kadang aku pikir, karena kita mulai dewasa dengan prioritas hidup yang beda, jangan-jangan itu berarti kehilangan orang-orang tertentu yang kita sayangi juga sebagai salah satu konsekuensinya."
"Karena kamu pikir mereka juga pastilah mengalami fase yang sama? Dan kamu lah pihak yang mengalah dan harus melepas? Iya, Mi?"
Mia mengangguk pelan. "Mungkin. Aku sendiri bahkan nggak yakin sama pikiranku. Sama dugaanku."
Adin tertawa kecil. "Justru aku yang ngerasa mulai kehilangan kamu. Ngerasa mulai nggak ngerti dan nggak kenal kamu, padahal bisa aja pikiran-pikiranku sendiri yang akhirnya membatasiku untuk tetap mengenal kamu sebagai Mia yang selama ini aku kenal."

"Ini yang pengen aku bicarain tadi di kantin.", ujar Mia, "Tapi aku nggak tau gimana mulainya. Kali aku juga takut dikira melankolis dan berlebihan...".
"...padahal aku udah lama pengen ngomongin hal yang sama. Kirain tadi kamu mau cerita apa gitu yang lain.", potong Adin.
"Padahal ini ya Din? Hehe...".
"Ya, padahal hal penting satu ini...".
Mia menatap Adin dalam-dalam. "Aku lega...".
Adin mengusap bahu Mia, "Aku juga. Ternyata perubahan fase hidup nggak selalu berarti akan kehilangan orang-orang yang kita kasihi."
"Terutama sahabat...".
"Because best friends stay forever. They stay by hearts."
"Iya Din, they don't last. We won't last."
Dalam dinginnya malam di gardu pandang Gunung Merapi dan Merbabu, kedua perempuan itu berpelukan erat, menemukan kembali diri mereka yang sempat hilang beberapa waktu. They both know, whatever happens, they won't last. Never.







*Details on the picture;
"UNTITLED"
drawn by KrisanPutih (Dorothea Diba), 2008
Oil & pastel on Paper

Tidak ada komentar:

Posting Komentar